Kerinci 3.805 Mdpl
Tulisan ini untuk mengenang satu perjalanan kami di tanah sumatera, sepuluh hari menjelang wisuda Oktober silam. Saya dedikasikan untuk kawan, sahabat, dan saudara kami, Muhammad Ramdhani, Erwin Tarzani, dan Tinton Suryahadinata, serta untuk STAPALA.
CH. I – Prolog
Berawal dari mimpi, begitulah kami menyebut perjalanan ini. Sebuah perjalanan setengah nekat menyeberang laut sunda dan menapakkan kaki di tanah Sumatera. Mengawali goresan mimpi yang tercetus sebagai sebuah ekspedisi. Perisai nusantara, begitulah kami menyebutnya. Sumatera, sunda, jawa, bali, lombok, dan kepulauan sunda kecil yang meliputi nusa tenggara dan berujung di Tambora. Satu kurva melengkung yang menyerupai busur panah, atau kami memaknainya sebagai satu bentuk perisai, tameng kokoh yang melindungi nusantara dari amukan gelombang samudera hindia. Ya, melakukan perjalanan dari pulau ke pulau itulah awal dari mimpi kami. Menyambangi puncak-puncak tertinggi yang berdiri di setiap pulaunya. Kerinci, krakatau, semeru, agung, rinjani, hingga tambora. Sekali lagi, itu adalah “mimpi”. Mungkin banyak yang menertawai, hehe, saya pun sebenarnya juga menertawai diri sendiri. Satu mimpi yang terlihat sedemikian muluk-muluk untuk diwujudkan oleh sekumpulan pemuda kere seperti kami. “Bagai munyuk merindukan belaian, bagai punguk merindukan rembulan”. Tapi toh apa salahnya bermimpi, kalaupun tak terwujud mimpi akan tetap menjadi bunga tidur, dan selamanya tidak akan pernah terwujud bila kita nggak pernah mau mencoba berbuat sesuatu untuk menjadikannya kenyataan.
Berawal dari mimpi itulah, kami berempat, dengan segala keterbatasan dana dan waktu yang dimiliki, mencoba meretas asa mewujudkannya. Oktober 2011, tepat 10 hari sebelum kami diwisuda, kami bertekad berangkat ke sumatera. Berbekal uang sisa rapelan PKL sebesar Rp 300.000,- ditangan, saya memastikan ikut dalam rombongan. Secara matematis tak cukup memang, kata Gokong, dengan uang segitu cuma bisa sampai di Jambi saja, dan belum bisa balik ke Jakarta, jadi mending saya jadi tim darat saja. Haha.. Tapi kawan-kawan saya meyakinkan untuk tetap berangkat, bismillah modal nekat, apalagi racun si Ramdhani yang selalu bilang bahwa “Momment itu nggak terbeli”. Ya, nggak terbeli. Mungkin kita nggak bakal bisa mendapatkan momment yang sama pada kesempatan yang berbeda. Maka, pada hari Rabu, 2 Oktober 2011, kami berempat bertolak dari Posko. Seremonial pelepasan sederhana berupa doa bersama penuh khidmat dibawah pohon bintaro dengan disaksikan oleh Pak Dosko, Ketum Jupret, Balung, dan saudara saudara kami lainnya. Siang itu, anggota dengan nomor 882, 923, 940 dan 946 dengan bangga menggenggam bendera STAPALA untuk dikibarkan di puncak tertinggi sumatera. Kerinci 3.805 Mdpl.
***
CH. 2 – SEKILAS TENTANG KERINCI
Dari Wikipedia
Gunung Kerinci (juga dieja “Kerintji”, dan dikenal sebagai Gunung Gadang, Berapi Kurinci, Kerinchi, Korinci, atau Puncak Indrapura) adalah gunung tertinggi di Sumatra, dan puncak tertinggi di Indonesia di luar Papua. Gunung Kerinci terletak di Pegunungan Bukit Barisan, dekat pantai barat, dan terletak sekitar 130 km sebelah selatan Padang. Gunung ini dikelilingi hutan lebat Taman Nasional Kerinci Seblat dan merupakan habitat harimau sumatra dan badak sumatra.
Kerinci masih aktif dan terakhir kali meletus pada tahun 2009.
***
CH.3 – MELEPAS JAKARTA, MELINTAS SUMETERA
Setengah jam menjelang keberangkatan masing-masing dari kami masih disibukkan dengan packing perlengkapan dan mencari alat-alat yang dibutuhkan. Segala sesuatunya memang dadakan, segala sesuatunya memang tak dipersiapkan dengan waktu yang luang. Bahkan semalaman pun kami masih sempat futsal hingga larut malam dan begadang hingga subuh menjelang. Jan niat neng sumatera tenanan ora sih arek-arek iki. Rencana berangkat jam 09.00 pun sepertinya Cuma omong kosong. saya sendiri jam sembilan baru bangun, sengaja malam itu tidur di posko memang, dan tiga puluh menit berikutnya tak satupun dari tiga orang rekan saya itu menunjukkan batang hidungnya. Hmm.. jadi berangkat hari ini nggak sih?
Akhirnya ba’da dzuhur kami baru benar-benar berangkat. Perlahan kami berjalan ke arah gerbang ceger, melintasi plasma. Ada satu hal yang tak wajar, dan teman kami tak menyadarinya. Dan anak-anak pun tertawa puas dari posko sana. “Coba tan lihat carriermu”, saya tersenyum ringan berbicara pada si mantan (erwin). Dengan penasaran dia menurunkan tas ranselnya, lalu dibongkar dengan tergesa-gesa. Hahaha.. dia menemukan tiga kilo gram besi pemberat barbel yang diam-diam dimasukkan kedalam tasnya. Kerjaan si codet ini pasti..!! Salah sendiri carrier si mantan ini paling ringan. Hehe.. Salah satu kejadian konyol mengawali keberangkatan kami. Setidaknya, kami mengawali perjalanan dengan sebuah tawa, semoga pendakian ini berakhir dengan senyum dan tawa pula. Aminnnn..
Dari gerbang ceger kami menumpang sebuah angkot yang menuju cipulir, turun di persimpangan rel kereta, kemudian menyambung kopaja jurusan Blok M. Dari Blok M kami naik bus mayasaribakti jurusan Rawa Mangun. Menurut informasi yang kami dapatkan, dari sanalah banyak pilihan bus lintas sumatera diberangkatkan. Sekitar satu setengah jam berselang akhirnya kami tiba di rawa mangun, perlu sedikit berjalan untuk menuju terminal, karena bus yang kami tumpangi tak masuk kedalam rupanya. Calo dan agen makelar langsung berebutan menyambut kami. Bak artis yang dikerumuni fans-fansnya, dibawakan barang bawaannya, baru ditanya mau kemana, dan menawarkan jasa armada dengan pelayanan terbaiknya. Bus Eksekutip, full AC, cepat dan nyaman. Haha, mboten paaak.. kulo ajeng ndherek bis ekonomi kok… kantong mahasiswa!!
Mahasiswa dengan kocek pas-pasan seperti kami ini, sudah pasti nyarinya yang murah dan meriah, soal kenyamanan itu urusan belakangan, nomer sekian. Yang penting bisa nyampe di tempat tujuan. Target awal kami adalah mencari bus ekonomi non AC yang perkiraan kami bisa kami dapatkan dengan tarif dibawah duaratusan. Karena rata-rata bus AC lintas sumatera itu mahal sekali pasang tarifnya, berkisar pada angka tigaratusan. Tapi ternyata oh ternyata, setelah muter-muter dan cari tau sana sini, di terminal ini ternyata nggak ada bus ekonomi yang ke sumatera. Alternatif lain dengan ngeteng-ngeteng ke pelabuhan merak, lalu menyeberang kapal, dan mencari bis dari lampung atau palembang juga dirasa bukan pilihan terbaik. Ada juga alternatif lain yaitu ikut semacam mobil avanza, mobil ini katanya mobil keluaran dari showroom dan akan dikirim ke Jambi. Oleh sopirnya biasanya mereka mencari tambahan uang rokok dengan membawa penumpang yang akan ke sumatera melalui agen tidak resmi. Cukup menggiurkan, apalagi mereka kemungkinan bisa dinego dengan tarif 150an per kepala. Tapi sekali lagi kita nggak tau pasti ini gimana, apa benar-benar sampai jambi atau bakal diturunkan ditengah jalan.
Banyak hal yang bisa kami petik dari kejadian-kejadian di terminal. Mereka mengajarkan pada kami betapa kerasnya kehidupan. Betapa kerasnya orang mati-matian mendapatkan penumpang yang artinya persenan recehan bagi mereka, dan dapur mengepul bagi keluarga mereka. Karakter batak, jawa, sunda, padang, dan berbagai daerah lainnya dengan mudah kita temui disana. Dan kami beruntung memiliki seorang berdarah bugis dalam tim kami. Darah nenek moyang pelaut yang tak gentar (lebih tepatnya tak punya malu, hehe) menghadapi sopir dan kondektur yang berbicara seolah olah terminal ini punya dia. Ya, setelah nego sana nego sini, disemprot sana dimaki-maki disini, akhirnya kami dapat juga tiket menuju Jambi. Seratus tujuh puluh lima ribu per orang. Deal..!!
Selepas sholat maghrib, bus Permata Bunda yang kami tumpangi perlahan mulai meninggalkan Jakarta. Beberapa jam selanjutnya ia menyeberang selat sunda. Mesin bus dimatikan, dan seluruh penumpang diturunkan. Sementara bus terparkir di lantai dasar kapal penyeberangan, para penumpang masing-masing berhamburan mencari tempat peristirahatan. Kami memilih dek di lantai tiga. Dek kelas ekonomi, dek terbuka dengan atap penutup bagian atasnya saja. Angin dingin berhembus tanpa pembatas, bercampur debur ombak yang terpecah oleh laju kapal itu. Gugusan kepulauan di seberang nampak megah dalam kegelapan. Lampu-lampu kemerlip di ujung sana membuat suasana malam itu sungguh sangat syahdu. Tak heran jika kawan kami si mantan dengan mudahnya terinspirasi membuat sebuah puisi. Mengenang saat-saat melintasi selat ini bersama seseorang yang terkasih. Hoho, so sweet sekali bung..!! Bagi saya, inilah pertama kalinya naik kapal, pertama kalinya menyeberangi lautan.
***
CH. 4 – SUMATERA..!! SUMATERA..!!
Setelah tiga jam kami terombang ambing di laut sunda, akhirnya kapal bisa kembali merapat ke darat. Selamat datang di Pelabuhan Bakauheni – Lampung, begitu kata seseorang lewat pengeras suara. Dan tibalah kami di tanah sumatera, untuk pertama kalinya. Kami semua bergegas kembali ke lantai bawah, menaiki bus masing-masing. Dan kemudian kembali melaju melewati kota demi kota di sepanjang jalur lintas timur sumatera. Lampung, palembang, jambi, dan kota kota kecil lainnya. Selebihnya, daerah pinggiran pedesaan dan hutan-hutan.
Selama perjalanan bus berhenti beristirahat dua kali, yang pertama saat masih pagi. Kami sarapan di sebuah rumah makan rekanan PO bus tersebut. Beruntung kami membawa popmie dari Jakarta, tinggal beli air panasnya saja dan diseduh sendiri. Nggak kebayang kalo harus beli, satu bungkus POPMIE dihargai Rp 15.000,- Ngajak kere ngene iki carane…
Yang kedua, bus berhenti siang hari, sebelum atau sesudah palembang saya lupa. Kali ini di sebuah rumah makan bergaya khas padang. Perut yang lapar dan cuaca yang panas membuat kami tak kuasa menahan diri untuk tidak membeli nasi dan es teh. Disini, untuk makan dan minum kami harus merogoh kocek tak kurang dari Rp 20.000,-. Wez rapopo, cukup sekali ini saja, kapok!! Hahaha.
Next..
Perjalanan siang hari adalah perjalanan yang melelahkan sekaligus membosankan. Memang benar kita bisa menikmati pemandangan sepanjang jalan melalui kaca jendela. Tapi AC yang bercampur bau solar dan bau keringat puluhan manusia membuat udara didalam “gerbong” sempit itu tak karuan. Perut saya sudah mual sedari tadi, mencoba untuk tidak muntah karena mabok kendaraan bagi saya adalah mencoreng harga diri. (wkwkwk, gara-gara sering ngejekin temen yang mabok kendaraan ini). Pantat sudah terasa penat dan punggung sudah begitu pegal duduk menyandar pada jok kursi yang sempit. Kaki saya harus menekuk, cukup susah dan harus mengatur posisi sedemikian rupa agar bisa sekedar selonjoran. Di samping saya, gembez, nampak selalu molor menyandarkan jidatnya pada bangku didepannya. Atau bersandar tengadah dengan mulut yang terbuka. Ngowoh..!! Hoek..!! Tak ada pilihan lain bagi saya kecuali ikut memaksa memejamkan mata. Tidur.
Next…
Hari sudah sore, kami baru saja melewati palembang. Di perbatasan kota, seorang kawan kami nampak antusias menjelaskan daerah demi daerah yang baru saja kami lalui. Hafal betul dia seluk beluk kota ini. Yaiyalah, lhawong dia asli palembang. Hehe. Tak ada yang menarik bagi saya di kota sriwijaya ini, mungkin karena telinga saya sudah terlalu bengap dengan suara bising mesin kendaraan itu. Perut yang mual sedari tadi membuat kepala saya menjadi berkunang-kunang tak karuan. Teman kami yang satu ini masih menjelaskan daerah demi daerah di sudut kota itu. “Ntar yangplok, habis belokan itu ada semacam pertigaan, nanti ada jalan masuk kesana, nah disitu rumahnya..”. Ihirrrr..!! tak perlu lah saya menceritakan detilnya. Ndak enak sama si kawan ini nanti, hhe. Hanya sebagai pelengkap deskripsi cerita saja. (no offense, Tan..)
Next…
Selepas maghrib. Saya mencoba bertanya pada penumpang di sebelah yang sepertinya sudah paham betul perjalanan lintas sumatera. “Kalo sampe Jambi dari sini masih berapa jam lagi bu’?”. Membayangkan sejenak, lalu ibu itu menjawab “Yaa kalo dari sini masih sekitar enam jam tujuh jam lagi dek..”. Krik.. krik.. krik… masih setengah malam sendiri. Padahal terhitung dari jakarta, saat ini kami sudah melalui 24jam perjalanan darat yang melelahkan. MaasyaaAllah.. Sejujurnya kami sudah lelah meringkuk dalam kendaraan ini. Mata kami sudah lelah terpejam. Bahan obrolan pun sudah malas dilontarkan. Yasudah, nikmati saja perjalanan ini. Nanti toh juga akhirnya sampai sendiri. Oke, kita tidur saja lagi.
Sementara itu, bowaz dan gembez nampak sibuk dengan ponsel mereka masing masing. Keduanya nampak menghubungi sanak saudara mereka yang ada di jambi. Si Bowaz ada kakaknya yang polisi, dan gembez ada pamannya yang kebetulan sedang naik haji. Tentu saja selain silaturrahmi, tujuan utama kami adalah mencari tempat tebengan menginap malam nanti. Hehe..
Pukul 01.15, sudah memasuki hari ketiga semenjak keberangkatan kami dari Jakarta.
Sang kondektur berteeriak “Jambi… Jambi.. Jambi..”. Ah sampai juga rupanya. Kami turun di terminal simpang rambo, di depan sebuah agen penjualan tiket bus permata bunda dan beberapa agen lintas sumatera lainnya. Beberapa saat berselang, di seberang jalan sana berhenti sebuah mobil hitam keluaran tahun 90an. Sang paman melambaikan tangan lalu turun menghampiri kami. Beliau datang bersama putra sulungnya, si Rama. Carrierpun dipindahkan ke bagian belakang mobil. Kemudian perlahan mobil itu melaju meninggalkan simpang rambo. “Kita makan dulu” kata si paman sambil membelokkan mobilnya ke tepi sebuah jalanan. Warung ayam goreng dengan nasinya berupa nasi uduk. Perut lapar kami tak segan menghajar apapun yang ada dihadapan kami.
Menemani makan “sahur” kami si paman banyak bercerita tentang pengalaman-pengalaman masa mudanya, banyak hal demi hal yang lucu terlontar dari penuturannya. Banyak pula pelajaran-pelajaran berharga yang bisa kami petik darinya. Si Sulung, yang ternyata anak sispala juga pernah mendaki kerinci, maka klop sudah pembicaraan kami.
Siang harinya kami belanja logistik dan segala keperluan selama pendakian di pasar depan komplek perumahan itu. Tak jauh dari rumah paman, hanya cukup berjalan menyeberang pekarangan orang. Seragam biru STAPALA yang kami pakai membuat beberapa pasang mata mengawasi curiga. Dikiranya petugas apa kali ya..
***
CH. 5 – MENUJU KAKI KERINCI
Kami kembali diantar ke simpang rambo, untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke kersik tuo, basecamp pendakian di kaki gunung kerinci. Jangan berfikir bahwa jambi – kersik tuo itu dekat bung. Dari jambi ke sungai penuh saja (kota terakhir sebelum kersik tuo) sama dengan perjalanan jakarta – jogja. Sepuluh jam..!!. Dari sini hanya ada dua alternatif transportasi. Yang pertama travel yang membawa kita langsung ke sungai penuh. Tarifnya berkisar antara Rp 100.000 s/d 120.000, hanya saja adanya Cuma pagi jam delapan dan sore atau malam. Alternatif yang kedua dari jambi kita naik bus ke terminal bangko, dengan waktu tempuh sekitar lima jam perjalanan. Dari bangko nanti baru kita menuju sungai penuh. Akhirnya pilihan yang kedualah yang kita pilih, alasannya selain sedikit lebih murah, juga kita bisa langsung berangkat.
Jangan kaget melihat bus-bus antar kota di sumetera. Muatan barangnya akan lebih banyak ketimbang penumpangnya. Bahkan di kap atas, nampak barang barang dan kardus besar tersusun setinggi dua kali bus itu sendiri. Lebih menyerupai bus tingkat di daerah solo pikir saya.
Lima jam berikutnya kami sampai di terminal Bangko. Setelah membayar Rp 30.000 kami turun dan langsung disambut agen travel yang menawarkan armada menuju sungai penuh. “Limapuluh ribuan aja langsung saya antar ke penuh sekarang”. Tanpa fikir panjang kamipun langsung mengiyakan. Dan mobil L300 itu langsung berangkat meski Cuma terisi empat orang. Wuzzzz pak sopir ngebut dan tahu-tahu lima jam berselang kami sudah tiba di sungai penuh. “Baru jam setengah tiga”, kata si mantan.
Di kota mati ini bahkan kami tak tahu harus menuju kemana. Dua tempat yang menjadi favorit gembel seperti kami adalah masjid dan terminal. Tapi bahkan ini belum subuh, kami tak tahu suara langkah kaki kami. Menapaki jalan beraspal yang nampaknya salah satu jalur di tengah kota. Beruntung kami melewati sebuah pos ronda, sekumpulan pemuda nongkrong berbasa basi menyapa kami. Obrolan singkat pun terjadi. Dari mana, mau kemana, sama siapa?. Dan mereka setengah terkejut mengetahui kami rombongan dari Jakarta yang hendak mendaki kerinci namun tak ada satupun dari kami yang tahu seluk beluk daerah ini. “Ah sebaiknya kalau mau ndaki minta diantar saja sama si kawan ini, dia sering pergi panjat gunung, bahaya bang kalau sendiri”, kata mas-mas bertubuh pendek dan gempal sambil menunjuk salah seorang temannya.
Dia pun mengantarkan kami ke terminal. Katanya, masjid disini pasti dikunci dan hanya buka pada waktu sholat saja. Rawan pencurian. Dia pun tak berkeberatan menemani ngobrol dan berjanji mencarikan angkutan nanti pagi. Diajaknya kami ke sebuah warnet, lalu ditunjukkan foto-foto koleksi pendakiannya di kerinci, sambil menjelaskan jalur jalur yang akan kami lewati dan titik titik bahaya yang harus kami perhatikan. Ternyata si Tony ini orang yang sangat baik. Awalnya kami berfikir jangan-jangan orang ini preman desa yang ujung-ujungnya “malak” minta duit ke kita. Hehe, bukan suudzon, hanya saja perlu tetap waspada karena kita berada di negeri orang, ditempat antah berantah, di pagi hari yang buta. Dan nantinya kami akan merasa sangat beruntung bisa bertemu dengan orang ini sebelumnya.
***
CH. 6 – THE BEGINING STORY
Matahari mulai merekah. Jingga di ufuk cakrawala menandai geliat kota yang beberapa saat sebelumnya menyerupai kota mati. Selepas sholat subuh, kami berlima berngingsut menuju terminal tempat pangkalan angkot-angkot menanti penumpangnya. Di sebuah warung di sudut terminal kami menyempatkan sarapan, agar sesampainya di kersik tuo kita bisa langsung melakukan pendakian. Ketupat lontong dan bubur sungsum hangat kami santap dengan cepat. Lalu memindahkan barang ke sebuah angkot putih yang standby tak jauh dari situ. Harga telah disepakati, Rp 15.000 per orang dan perjanjiannya akan diantar sampai di pintu rimba (batas hutan). Normalnya, angkot ini hanya melintas di depan tugu simpang macan. Kebanyakan pendaki turun dan menginap di “homestay Paiman”, beberapa meter sebelum simpang macan. Namun kami memilih langsung menuju pos pendakian, karena berdasarkan beberapa catatan perjalanan, jika berangkat dari pos pendakian jam 08.00 kemungkinan sampai di camp terakhir sudah menjelang larut malam. Oleh karena itu kami mencoba untuk berangkat sepagi mungkin.
Dua jam berjalan angkot tersebut mulai memasuki daerah kersik tuo. Langit pagi yang cerah membuat semangat kami membuncah. Perkebunan teh yang menghampar hijau, gundukan gundukan bukit permai membuat hati kami berseru, “Ya Allah, sebentar lagi kami akan menginjakkan kaki di kerinci. Ridhoi perjalanan kami, berkahi misi yang kami emban ini, dan lindungilah setiap langkah kami. Aminn..”.
Di sebelah kiri nampak sendirian berdiri gunung yang akan kami daki, dengan pucuk yang berselimut awan, membuat hati kecil saya sedikit bertanya. Benarkah ini gunung kerinci? Hmmm.. sepintas terlihat bukan seperti gunung yang tinggi. Tidak seperti ketika melihat gunung merbabu atau gunung sumbing yang begitu megah dan gagah. Astaghfirullah.. sedikit jumawa kita sepertinya. “Dont judge anything from the cover” kawan… Luruskan niat, bersihkan hati, persiapkan mental dan diri sebaik mungkin, pendakian ini bukan pendakian main-main, kita benar-benar buta terhadap apa yang akan kita hadapi, kita orang asing yang bertamu ke negeri antah berantah, jaga sopan santun dan etika, dan jaga mental dan kepribadianmu sebagai seorang mapala. (bicara saya dalam hati). Lamunan saya buyar ketika angkot menepi. Agak kedalam kesana terdapat sebuah bangunan kayu yang tertata rapi. Benar dugaan saya, ini adalah pondok R-10, pos jaga dan perijinan TNKS wilayah kerinci. “Tutup”. Sopir angkot bilang posnya memang jarang buka.
Rupanya kami hanya diantar sampai sini, kalau keatas lagi (batas hutan) sopirnya minta nambah limaribuan per orang. Ah kampret, perjanjiannya kan tadi bakal diantar sampai pintu rimba. Hampir saja saya memaki dan ngotot untuk diantar sesuai penjanjian, tapi ditahan oleh bowaz dan gembez. Oleh mereka saya diingatkan untuk menjaga sikap dan omongan, karena memang begitu banyak pesan dari orang-orang. Akhirnya kami mengalah untuk membayar biaya tambahan dan diantar sampai ke batas hutan.
Oke, sekarang kita sudah sampai di ujung jalan aspal dan bebatuan. Angkot menepi dan berhenti. Didepan kami ada sebuah pertigaan, dan tepat di pertigaan itu terdapat sebuah rangka besi yang masih kokoh berdiri. Nampaknya bekas baliho berukuran besar yang dulunya mungkin papan selamat datang di kawasan konservasi. Jalan selanjutnya berupa jalan tanah, jalan setapak yang sedikit lebar, cukup untuk dilewati sepeda motor. Namun kendaraan roda empat tak bisa lagi melewati daerah itu. Ke arah kanan adalah jalan menuju ladang-ladang penduduk, dan lurus keatas kita akan mulai memasuki kawasan pintu rimba.
Sampai disini kami baru menyadari, kami lupa belum bawa persediaan air. AIR..!! MATEK KOEN..!!. Jangankan air, botol aqua saja kami hanya ada dua, sisa perjalanan di bus tempo hari. Ah gimana sih kok sampe kelupaan di kersik tuo tadi nggak beli. Di dekat situ memang ada danau belibis, tapi kata penduduk sekitar airnya tak bagus untuk dikonsumsi, ditambah lagi kami tak ada botol-botol bekas yang bisa diisi. Yasudahlah, mungkin sebaiknya salah satu turun lagi. Akhirnya si mantanlah yang turun ke bawah untuk membeli segala kebutuhan yang masih kurang, membonceng motor penduduk yang pulang dari ladang. Sedangkan yang lainnya, menunggu di pintu rimba.
Masalah tak terhenti di situ saja, di depan pintu rimba ini, kami baru “ngeh” kalo kita ini nggak lapor. Ya bagaimana mau lapor, lhawong pos jaganya saja nggak buka. Trus gimana?.
Bowaz, sang ketua perjalanan, bersikeras untuk tidak naik jika kita tidak melapor dan mendapatkan ijin. Dan dengan konyolnya ia melontarkan ide untuk pergi ke danau gunung tujuh saja lebih dahulu baru esoknya mendaki kerinci. Ah muatamu..!! kita sudah di pintu hutan kerinci dan kau bilang kita nggak jadi mendaki? Bercanda kau boi…
Memang benar itu prosedur safetinya. Tapi bukankah pos jaga memang jarang buka? Bagaimana kalau besok juga tetap tidak buka. Kepada siapa kita harus melapor? Bahkan sebenarnya kami sendiri tidak tahu apakah gunung ini sudah dibuka semenjak dinyatakan ditutup pada awal tahun lalu. Kami hanya mendapat informasi dari teman mapala di jambi katanya kerinci sudah bisa didaki. Lalu gembez pun menengahi, mungkin sebaiknya salah satu turun ke simpang macan, coba tanya ke homestay Paiman, minta saran sebaiknya bagaimana. Oke, bowaz sendiri yang turun menyusul mantan mencoba mencari tahu soal perijinan. Sepengetahuan saya, perijinan di TNKS memang tidak serumit mengurus simaksi di TNGP yang cenderung dikomersilkan. Dan kata Toni pun, kalau pos jaga tidak buka, langsung naik juga tidak apa-apa. Tapi sekali lagi, sebagai tim yang resmi membawa bendera mapala, sudah seharusnya mengikuti seluruh prosedur keselamatan yang ada. Disini, didepan pintu rimba, tinggal saya dan gembez yang tersisa. Menunggu kabar dari bowas soal perijinan dan si mantan yang mencari air dan bahan makanan.
***
CH. 7 – MENYIBAK BELANTARA SUMATERA (belum terbit)
Bersambung…..
-6.274453
106.769675