RSS

S e p e n g g a l   c a t a t a n – c a t a t a n   k e c i l 
tentang kita, tentang hidup, tentang petualangan, tentang kebersamaan, tentang persaudaraan, tentang alam, tentang mimpi, dan diriku sendiri 

[untuk melihat DAFTAR ISI klik disini]

 
Comments Off on

Posted by on February 5, 2011 in Uncategorized

 

Sebuah dialog imajiner, di pinggiran kota balikpapan, di sebuah malam ramadhan.

Sebuah dialog imajiner, di pinggiran kota balikpapan, di sebuah malam ramadhan.

“Jek, tarawih di mana kita? mesjid xxx?”

“wah, disana 8 tapi imamnya menye2, kemayu, baca suratane suuuuuwi. Daripada kita ibadah tapi hati menggerutu nggak ikhlas??”

“lah, yauwis kalo gitu kita ke mesjid yyyy aja yoh”

“wah, kalo disana 20 tapi ekpress, kayak orang lomba lari. Kurang tuma’ninah. Ibadah begitu mana bisa khusyu’ kita?”

“Walah kang, lha terus piye? apa kita bikin jamaah aja sendiri disini, kita daulat Gus Ilham sebagai imam”

“nhaaa cocok itu jek, yawis yo kita jamaah disini aja”

“ngomong2 gus ilham nanti tarawehnya 8 menye2 apa 20 express,gus?”

“Kita nanti 8 express aja”, kata Gus Ilham.

“%@*/-++#&@7″
*tarawih dg semangat 45 dan hati ikhlas”

***

Balikpapan, 14 Juli 2013. Ramadhan hari ke 5.

 
Leave a comment

Posted by on July 15, 2013 in Catatan Harian

 

Cerita dari Balikpapan

Uang bisa dicari, tapi kebahagiaan nggak bisa dibeli. Begitu kata orang bijak. -dan saya mengutipnya agar kelihatan (sok) bijak- 🙂

smileys_LaughKebanyakan orang mengukur kebahagian dengan uang.
Ah, si anu ini kerja di ini gajinya besar.
Gila si itu udah bisa beli rumah beli mobil sekarang.
Ah, disini “lahan kering”, nyesel masuk sini.
Heh, ngapain juga kamu ngerjain itu? orang kerjaan nggak ada honornya gitu.

Hehehe, meskipun tidak berlaku untuk semua orang, tetap saja nggak bisa dipungkiri kalo uang masih memegang peranan penting dalam menciptakan gambaran ideal sebuah kebahagiaan. Contoh kecilnya adalah pernyataan-penyataan diatas yang kebetulan akrab terdengar di lingkungan tempat saya berada.

Maybe yes, maybe no. Bisa saja itu benar. Toh nyatanya “jer basuki mowo beyo”. Misalnya saja, saya bisa merasakan kebahagiaan dan kepuasan bathin tersendiri ketika saya mendaki gunung. Tapi nyatanya mendaki gunung juga perlu biaya. Tidak murah, Balikpapan-Surabaya, Balikpapan-Jakarta, Balikpapan-Makassar, hitung sendiri berapa harga tiketnya. Tapi bisa juga maybe no. Tidak semua kebahagiaan bisa dibeli dengan uang. Dan tidak jaminan orang yang banyak uang itu bahagia hidupnya. temen saya yang ngaku punya tabungan 40M aja hidupnya (selalu) nggak bahagia, terbukti dia mengidap mythomania akibat penderitaan yang dialaminya secara terus menerus dan tak kunjung sembuh. Cukup jauh berbeda dengan saya dan teman-teman seperjuangan seperantauan yang hampir setahun terakhir ini perbulan “hanya” hidup dengan 850k, toh kita fine-fine aja, kita bahagia menikmati hidup dengan cara sederhana. (hahaha, malah curcol dan membuka aib). 😀

Sebenarnya ada begitu banyak kebahagian-kebahagian yang tak ternilai, bahkan begitu dekat dengan kita, disekeliling kita. Apa itu? rasa tenteram. Lagi, rasa aman. Hmhm? rasa nyaman. Yang lain? syukur. Ada lagi? kebersamaan, keakraban, persahabatan, dan banyak hal-hal sederhana yang bisa membuat kita bahagia. Pertanyaannya, apakah sesederhana itu untuk bahagia? Mungkin sebenarnya iya. tapi tidak juga se-sederhana mengetik smiley titik dua dan kurung buka. Semuanya tergantung bagaimana kita yang menjalani.

Kebahagian bisa datang ketika orang lain menghargai kerja kita, usaha kita. Kebahagiaan bisa datang hanya dengan duduk-duduk bersama kawan dan saling mengolok dan melempar ejekan (dengan tampa maksud merendahkan) satu sama lain. Kebahagiaan bisa datang hanya dari kita membiasakan mengucap “minta tolong” dan “terima kasih”. Kebahagiaan bisa datang dari kita bergaul dan bersosialisasi dengan mereka mereka cleaning service, satpam, dan orang-orang yang dipandang “sebelah mata”. Kebahagiaan bisa datang ketika melihat seorang rekan kerja nampak cukup stress dengan pekerjaannya, dan kita sebenarnya bisa menikmati pekerjaan itu dengan enjoy aja. (Hahaha, bukannya mbantuin malah ngolokin).

Key.. Sepotong gambar moment ini akan bercerita tentang sedikit kebahagiaan yang kami temukan di tempat perantauan. Di pinggiran timur Kalimantan. 🙂

bakar-bakar

Bakar-bakar ikan bersama temen-temen security

*Ditulis di Balikpapan, 28 Mei 2013.
Tulisan ini hanya sekedar opini dan sharing cerita dari penulis semata, tanpa ada tendensi dan maksud apa-apa. Bila ada kesamaan tokoh, wajah, watak, dan karakter, itu hanya unsur kesengajaan dan bukan kebetulan semata. Keep calm. Daripada jotos-jotosan, lebih baik kita tersenyum bahagia 🙂
*titik dua kurung buka*

 
5 Comments

Posted by on May 28, 2013 in Catatan Harian

 

Tags: , ,

Kumbolo…

Kumbolo..

Dulu, naik pesawat adalah sesuatu yang wah. Sesuatu yang hanya bisa dinikmati oleh orang-orang tertentu. At least golongan kelas menengah. Dulu, naik haji juga merupakan sebuah pencapaian yang tidak sembarangan orang bisa melakukannya. Seorang peziarah haji harus menempuh perjalanan panjang dengan menumpang kapal selama berbulan-bulan. Dengan bekal serta ongkos yang hanya memungkinkan dilakukan oleh para bangsawan dan orang-orang yang cukup mapan. Maka itulah asalmuasalnya di Indonesia seseorang yang pulang dari tanah suci mendapatkan “gelar” HAJI, gelar kehormatan yang hanya ada di negara kita Indonesia ini.

Sebuah prestise, sebuah kehormatan, atas sebuah pencapaian, menjadi sesuatu yang istimewa bilamana tak banyak orang bisa melakukannya, atau memilikinya. Seperti halnya naik pesawat, sekarang menjadi hal yang cukup lumrah bahkan bagi kelas merakyat. Naik haji, kini bahkan sekarang harus mengantri hingga bertahun-tahun (konon sekarang antrian hingga belasan tahun) untuk mendapatkan satu slot label “Pak Haji”. Yang artinya, sekarang itu semua bukan menjadi sebuah hal yang eksklusif lagi.

Hmmm.. kebanggaan atas suatu pencapaian.

Dahulu, ketika masih sedikit orang (orang-orang dari kalangan tertentu saja) yang berkeinginan dan mampu mencumbui, Semeru adalah sebuah simbol kebanggan. Kebanggaan memiliki sebuah “surga” tersembunyi di tanah tumpahnya darah ibu pertiwi yang melahirkan generasi demi generasi. Mahameru, tanah tertinggi di pulau Jawa ini dulunya adalah kebanggan bagi para pendaki. Udara yang bersih, hutan yang asri, jalur setapak yang masih dihiasi rimbun semak-semak di kanan kiri.

Namun itu cerita lalu. Ranu kumbolo kini tak lagi sunyi. Kalimati tak lagi hening dan sepi. Pasir-pasir halusnya terkoyak oleh ribuan kaki-kaki pendaki yang tiap minggunya dengan congkak ingin berdiri di atas titik tertinggi. Miris, ketika menyaksikan sendiri bagaimana tumpah ruahnya ribuan orang dengan ratusan tenda memadati pelataran danau yang dulunya begitung tenang, begitu lengang, dan tempat yang begitu nyaman untuk merenungi. Sekarang, keributan malam dengan embel-embel “keakraban” benar-benar menjadikan ranu kumbolo tak ubahnya pasar malam.

Menyendiri dari bisingnya pagi (foto dok. azhyzmaghfur)

Belum lagi apa yang kami lihat ketika kami ber-camp di kelik, hanya beberapa meter menjelang batas vegetasi. Kami terbengong-bengong ketika keluar tenda pukul 3 dinihari, kami melihat keatas, ke punggung mahameru yang menjulang gagah tepat dibelakang kami, sepanjang jalur menuju puncak nampak berderet cahaya lampu senter para pendaki yang berburu pagi.  Mengantri. Padat merayap. Bahkan beberapa rombongan memutuskan turun dengan alasan “antriane nggilani mas, 15 menit baru bisa maju 5 langkah”. Persis, seperti kemacetan di simpang gadog menuju Jalan raya Puncak, dari arah jakarta ketika akhir pekan tiba. Aih..

Sebenarnya bukan itu yang kami sesali. Namun perilaku sebagian “pendaki” yang memaksa tensi darah meninggi. Mereka yang dengan tanpa rasa menjaga dan tanpa rasa memiliki. Mereka yang datang kemari hanya karena sebuah pengaruh film produksi. Mereka yang datang kemari tanpa etika dan kesadaran untuk menjaga agar tetap lestari. Lihat saja, air telaga tak lagi segar menghilangkan dahaga, air telaga telah tercemar minyak-minyak bekas penggorengan yang dicuci disana begitusaja. Air telaga telah tercemar sabun-sabun muka dari mereka yang tetap bersolek ria seperti halnya dirumahnya saja. Sampah-sampah tak terurus berserakan disekitaran tenda seolah disana ada petugas kebersihan yang mengangkutnya setiap pagi. Ah, padhakke gununge mbahmu wae.. C*k!!

Semeru, kini bukan lagi menjadi sebuah kebanggaan, sebagaimana beberapa tahun yang lalu, yang memberikan sebuah pengalaman bathin bagi siapa saja yang mengunjungi, dengan hati.. Semeru kini……

Bandingkan dengan ranu kumbolo yang seperti ini, beberapa tahun silam (dok.pribadi)

ranu kumbolo

atau yang seperti ini…

Aahh, sudahlah. Toh saya juga bukan seorang pecinta alam sejati, yang mendedikasikan hidup dan pengabdiannya untuk pelestarian bumi. Yang melakukan sesuatu yang nyata bagi harmoni umat manusia, alam beserta isinya. Kami, masih sebatas penikmat alam yang mencoba mencintai dan belajar menikmati keindahannya dengan cara yang benar. Tapi, keprihatinan kami, semoga menggugah bagi siapa saja yang masih memiliki kesadaran dan rasa tanggung jawab, serta memiliki jiwa dan hati..

Karena konon, dengan mentadabburi alam, kita melepaskan jiwa binatang kita pada habitatnya, dan menemukan diri kita sebagai manusia, sebagai makhluk, yang mendekat pada Yang mencipta.

Balikpapan, 27 Mei 2013

*Sebuah catatan keprihatinan pasca pendakian semeru, beberapa minggu yang lalu.
Semeru, ninggal janji. Sebuah keinginan untuk menemani seorang gadis kecil bertanduk kancil. Suatu saat, saya akan memasukkan ia kedalam ransel, dan membawa serta kesana. Lalu membiarkan ia berlari-larian ditepian telaga.

 
2 Comments

Posted by on May 27, 2013 in Catatan Harian

 

Tags: ,

Berangkatlah, Nak..

Oleh: Darwis Tere Liye
 

Pergilah melihat dunia, Anakku..
Dengarkan gunung-gunung bergema memanggilmu, Nak..
Atau lautan bergelora mengundangmu

Maka berangkatlah..
Biarkan alas kakimu yang paling jauh hanya pergi sekitaran rumah akhirnya menjejak ribuan mil
Biarkan debu perjalanan menempel di seluruh pakaian
Jangan cemas banyak hal
Jangan berpikir terlalu panjang hingga ragu datang
Lihatlah dunia terbentang..

Dengarkan nyanyian lembah-lembah hijau, Nak..
Atau padang stepa, padang sabana luas, hingga debu padang pasir..
Atau menyentuh lembutnya pucuk salju dingin menyenangkan..

Jangan habiskan hidup hanya antara bangunan, jalan setapak, kendaraan, itu-itu saja..

Jangan habiskan Read the rest of this entry »

 
Leave a comment

Posted by on January 23, 2013 in Uncategorized

 

Siapa suruh jadi anak sapi?

Siapa suruh jadi anak sapi?

Berhentilah mengeluh, kata si petani.
Siapa suruh jadi anak sapi?
Kenapa kau tak punya sayap untuk terbang?
seperti burung camar, yang begitu bangga dan begitu bebasnya.

Anak sapi mudah diikat dan “dibantai”,
tanpa tau alasan mengapa,
tetapi, siapapun yang menghendaki kebebasan,
seperti burung camar, harus belajar untuk terbang.

#terjemah suka-suka lagu “Donna donna”, Joan baez.
Bogor, 25 November 2012.

Ada banyak makna dibalik sepenggal lagu donna-donna, yang entah mengapa, begitu menyentuh dengan nada-nada yang dilantunkannya, dengan aransemen yang diperdengarkannya.
Saya tak terlalu peduli, apakah ini, konon katanya, lagu yang “mengiringi” pembantaian bangsa yahudi layaknya “anak-anak sapi”. Terhadap mereka, bangsa yang Read the rest of this entry »

 
3 Comments

Posted by on November 25, 2012 in Catatan Harian

 

Menebar Racun – PAPANDAYAN [chapter 1]

Menebar Racun – PAPANDAYAN
Bagian I

Benar bahwa kami menikmati setiap langkah yang penuh letih itu. Merayap, mengusap peluh dan mengatur nafas yang terputus putus. Membawa serta sahabat-sahabat kami menapaki setiap jengkal menakjubkan si cantik papandayan. Gunung yang diam bersemayam di belahan selatan swiss van java, Kabupaten Garut – Jawa Barat.

Bagi sebagian dari mereka, inilah kali pertama mendaki, menikmati kesusahan dan sejenak meninggalkan zona nyaman. Berbagi waktu dengan alam, bercumbu dengan dinginnya angin yang menyusup dari balik lembah. Berdiri di tepian tebing curam, menerabas hutan dan pepohonan. Merentangkan tangan, meresapi betapa arti persahabatan. Darimu, papandayan, kami belajar tentang kehidupan..

(Tegal Alun, 26 Oktober 2012)

                                                                            ***

Suatu Sore, Tegal Alun

Gerimis tipis yang sedari tadi tak henti, menyisakan tetes embun di daun-daun edelweis yang baru saja bermekaran. Membasahi dahan-dahan dan ilalang kering yang menguning. Bersatu padu dengan kabut putih, terbawa angin. Mengiring hawa dingin yang kian terasa. Menyusupi Read the rest of this entry »

 
Leave a comment

Posted by on October 29, 2012 in Catatan Perjalanan, Uncategorized

 

Tags: , , , , , , , , , , , ,

Balada Tenaga Harian Lepas, Antara menikah dan…..

Balada Tenaga Harian Lepas, Antara menikah dan…..

Nggak kerasa sudah hampir setahun ini kami menyandang predikat lulusan diploma. Iya, “cuma” lulusan diploma kok, bukan sarjana. 😉 Tanpa menyandang embel-embel gelar yang sering dibangga-banggakan calon mertua #eh orang tua maksudnya. Hehe, belum-belum sudah ngomongin calon mertua. “Kerja” aja belum, berpenghasilan (layak) apalagi. Yah, kalo kata ibu saya sih bilangnya baru belajar “ceker-ceker” sendiri. Maksudnya, seperti anak ayam yang baru belajar mencari butiran-butiran nasi. Lagi ajar golek upo. Lagi masa transisi, belajar mandiri, belajar hidup.

Dulu orang tua sering bercerita tentang rekasaning urip. Dan waktu kita masih kecil dulu, yang kita tahu hanyalah minta duit. Mereka yang lari tunggang langgang, kita yang bersenang-senang. Mereka yang nubruk sana nubruk sini nusang njempalik, kita ongkang-ongkang kaki matur “pak-buk, nyuwun duwik”. Yahhh.. dulu, lebih tepatnya-kemarin, kita masih seperti anak-anak yang selalu disuapi, dicukupi, disubsidi. Sekarang, sebagaimana proses hidup, semuanya akan tumbuh dan berkembang. Seekor anak sapi yang menyusu, perlahan akan membesar, berhenti menyusu, dan berubah menjadi sapi dewasa yang berganti menyusui. Satu tunas pohon, kelak akan membesar, kemudian memunculkan tunas-tunas baru, yang kelak akan menggantikannya ketika usia menumbangkan batang kayu itu. Seorang “pupunk” kecil, perlahan akan membesar, dan kelak akan menjadi “Pak Pupunk”, dan menghasilkan “pupunk-pupunk junior” yang lucu-lucu 😀 Read the rest of this entry »

 
16 Comments

Posted by on August 14, 2012 in Catatan Harian

 

Tags: , , , , , , ,

Setibanya di puncak, Janganlah mendongak. Menunduklah, lihatlah kebawah.

Setibanya di puncak, Janganlah mendongak. Menunduklah, lihatlah kebawah.

“Belajar tentang kehidupan, jadi teringat sekumpulan keluarga, jauh di kaki bukit sana, mengandalkan listrik dari turbin yg digerakkan oleh aliran air. Dan jika air surut, malam harinya mereka menyalakan lampu minyak & petromaks. Dan seperti sekarang ini, ketika aliran air dikosan saya mati, maka saya tak perlu mandi.” –Status geje 13 Agustus 2012-

Desa itu tak “jauh” dari kawasan Puncak, kawasan wisata yang cukup terkenal di seantero Jakarta. Kawasan dingin yang dibelah oleh hiruk pikuk kemacetan arus lalu lintas warga kota yang ingin menghabiskan akhir pekannya. Berlibur sejenak, menikmati hawa dingin, suasana sejuk nan asri, memandang  gundukan-gundukan pegunungan yang membentang, menatap perkebunan-perkebunan teh dan villa villa mewah yang menjadi salah satu andalan utama daerah ini. Bisnis, perputaran uang, perputaran kemaksiatan (?).

Namun siapa yang menyangka, beberapa kilometer agak kesana. Membelah perkebunan-perkebunan teh itu sendiri, sedikit mengitari bebukitan, melalui jalanan besar yang hanya ditata bebatuan, kita akan menjumpai sekumpulan keluarga yang hidup jauh dari hiruk pikuknya kota. Belasan kepala keluarga yang hidup terasing di kaki gunung kencana. Tanpa sambungan instalasi listrik dari Perusahaan Listrik Negara. Bertahan hidup dengan penuh kesederhanaan, apa adanya, ala kadarnya. Mereka tak mengenal kemacetan, mereka tak mengenal pusat-pusat perbelanjaan, bahkan siaran televisi pun tak dapat mereka nikmati. Bukan karena sambungan relay tak merambah daerah ini, tapi memang karena tak satupun dari mereka yang mempunyai pesawat televisi. Aihh.. jaman sudah semaju ini. Read the rest of this entry »

 
1 Comment

Posted by on August 14, 2012 in Catatan Harian, Catatan Perjalanan

 

Kalau mau ngasih, ya ngasih ajaa…

“Pengemis & anak jalanan, kalau mau ngasih, ya ngasih aja..”

Anak belasan tahun itu menggandeng adik-adiknya, dua orang, tiga orang, kesemuanya masih kecil-kecil, kesemuanya perempuan, berpakaian lusuh, kumal, dan tanpa perlu bertanya semua yang melihatnya pasti tahu, anak jalanan.

Dari seberang saya merogoh dalam saku celana, ada beberapa lembaran kumal uang ribuan disana. Erat kugenggam, insyaallah ini rejeki mereka, niat saya. Tapi tiba-tiba genggaman itu membuka, melepaskan lembaran kumal itu kembali ke saku celana. “Ah, stop memberi uang”, seketika teringat tayangan investigasi stasiun televisi yang mengungkap betapa busuknya bisnis eksploitasi anak-anak jalanan untuk mengeruk keuntungan. Uang itu, pasti bukan untuk mereka, pasti ada “bos besarnya” yang narik setoran dr pendapatan mereka hasil mengiba. Pikir saya.

Dan saya pun berlalu, melewati mereka dengan genggaman tangan yang tetap berada dalam kantong celana. Membuang muka, seakan tak melihat mereka ada. Read the rest of this entry »

 
Leave a comment

Posted by on August 13, 2012 in Catatan Harian

 

Tags: , , , ,

Stagnasi, anestesi… ketika merindukan sebuah petualangan

Stagnasi, Anestesi… Ketika Merindukan Sebuah Petualangan

Stagnasi ini berunjung pada satu titik. Titik yang seakan mengakhiri suatu alenia. Suatu fase, suatu masa yang menempatkan saya dalam penjara rutinitas yang sama sekali tak bisa kunikmati. Bekerja sebagai orang kantoran nampaknya tak sejalan dengan jiwa dan jerit hati. Berangkat pagi, pulang petang, tidur larut malam, stagnasi.

Aku rindu petualangan. Aku rindu sebagai mahasiswa. Yang bebas mengepakkan sayap menelisik indahnya negeri Indonesia ini. Berpetualang ke pelosok sumatera, menengok atap kerinci, menikmati lamanya perjalanan menyusuri daratan jakarta – jambi. Aku rindu semeru, puncak yang gagah dan petualangan yang indah. Ranukumbolo, oro-oro ombo, arcopodo. Bercumbu dengan pasir lembut yang mempertaruhkan semangat dan sarat emosi. Aku rindu menyisir argopuro, empat hari melelahkan menyusup kedalam surga tersembunyi. Bersua dengan merak, rusa, dan padang savana. Hingga berujung pada sebuah telaga, taman hidup, sama persis seperti namanya. Aku rindu perjalanan nekat menuju krakatau purba. Dimana kami menikmati dan merayakan setiap kemenangan-kemenangan kecil yang kami dapati. Meski kedua puncak ibu dan anak itu gagal kami tapaki. Aku pun merindukan pangrango, Read the rest of this entry »

 
 

Tags:

AG 7518 UR

AG 7518 UR

Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan, Itulah keberanian. Atau mempersilahkan, dan itulah pengorbanan.”  [QUOTE]

Salatiga, 24 Februari 2012

Seorang gadis kecil menggelendot manja, melingkarkan tangannya di lengan kiri pemuda yang kini duduk di sampingnya, terpaut hanya beberapa mili saja dari tempat ia bersandar. Keduanya duduk bersebelahan di sebuah bangku kayu panjang  di ruang tunggu sebuah agen bus malam. Mereka mendekat, saling merapat, namun ia tak berani menatap, entah malu, atau karena  ingin berusaha menyembunyikan perasaannya, kegelisahannya. Ia hanya bisa semakin merapatkan jemari kecilnya disela-sela jari sang kekasih, menggenggam erat, seakan tak rela seseorang yang dikasihnya itu pergi. Memang, lelaki itu cepat atau lambat harus pergi, meninggalkan si gadis kecil di kota ini seorang diri. Ia akan pergi merantau, mencoba meretas masa depan, mengadu nasib dan peruntungan ke belahan kota yang berbeda. Jakarta.

Keduanya menyadari, selepas ini, mereka akan terpisah untuk waktu yang bahkan mereka sendiri tak tahu. Sebuah perpisahan yang terasa terlalu cepat, sebuah kebersamaan yang terasa begitu singkat.  Baru sekejap mereka bertemu, dan tak lama lagi mereka harus menerima kenyataan, bahwa keadaanlah yang memaksa memisahkan. Dan sekarang, yang bisa mereka lakukan hanyalah Read the rest of this entry »

 
Leave a comment

Posted by on March 18, 2012 in Catatan Harian

 

Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan Lampu Teplok

Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan Lampu Teplok.

Malam ini, mari sedikit bermain-main dengan imaji, membebaskan ia yang sudah lama terkurung dalam diri seorang pemuda pengangguran macam saya ini. Membiarkannya bebas, dan berlari-lari di dunianya sendiri. Hoahm.. Tapi saya mengantuk. Saya ingin melepaskannya saja di dunia mimpi. Biar ia bisa bebas berlari lari tapi tak kan bisa lari. Hmmmss.. Dan lagipula, saya pun sedang kering inspirasi. Ada yang mau membantu? Ada yang mau kasih ide? Tidak ada? Sama bingungnya dengan saya? Hooooahm, yuk kalau begitu tidur saja kita. Menyusul si cinta yang baru saja kututup teleponnya. Yang sudah tidur terlelap setelah menyelesaikan belajarnya. Hmmmh, tapi si jari jari malah memberontak, ia masih ingin menari nari. Ah dasar nakal!! Sama seperti kamu, cinta..

Heh!! sebenernya niat mau bikin tulisan nggak sih?? Maaf, sejujurnya dan sebenarnya enggak. Trus kenapa masih nulis?? Ya karena pengen aja. Pfffft..
Saat facebook & twitter menjadi tak menarik lagi, dan mata “kethap-kethip” enggan terpejam karna kebanyakan kopi, ya kamu harus siap-siap menjadi tong sampahku, yang mau tak mau harus mau menampung segala kesah dan sumpah serapahku, ah malang sekali nasibmu, blog wordpress-ku.

Oke, oke ziz.. Ane tau ente lagi galau. Ane tau ente lagi suntuk. Nih gue kasih cerita aja yee, mudah mudahan aje bise bikin muke lu ga kusut lagi kayak gitu..

Pffftt, terserah deh!! Mau cerita soal apa lu?

Oke, dengerin yee.. kali ini tentang kisah seorang bapak-bapak yang bernama pak abdul. (Sial, pasti lu mau nyindir gue!!). Setting dan latar ceritanya adalah desa pelosok di sebuah perbatasan Read the rest of this entry »

 
1 Comment

Posted by on February 20, 2012 in Catatan Harian, Zona Ngakak

 

Tags: , ,

For my sweetest “valentine” #uhuk

For my sweetest “valentine”.

Dear sayang..
Bagaimana kabarmu hari ini? Terimakasih masih setia membaca tulisan-tulisanku hingga saat ini. Entah ini tulisan yang keberapa untukmu. Dan kali ini, aku ingin menuliskan sesuatu, masih untukmu.

Hehe, sebenarnya aku tak ingin ikut-ikutan latah berbicara tentang “valentine”. Karena aku memang nggak begitu mengerti tentang perayaan itu. Tapi nyatanya aku latah juga dan tergelitik untuk menuliskan tentang hari kasih sayang (yang konon katanya untuk memperingati kematian sang pendeta santo valentino di zaman Romulus dulu, kasihan ya si pendeta valentino).

Sayangku..
Aku minta maaf bila hari ini tak akan ada seikat bunga untukmu, juga tak kan ada sekotak cokelat berbentuk hati yang kuhadiahkan kepadamu, atau sebuah puisi cinta ungkapan kasih sayang, seperti yang biasanyanya kutulis untukmu. Maaf, bukannya aku tak mau, tapi aku memang tak biasa merayakan itu.. 🙂

Sayangku..
Kamu masih ingat? Aku pernah bercerita, bahwa aku bukanlah tipe pria romantis selayaknya muda-mudi jaman sekarang. Yang selalu mengirimkan setangkai bunga lambang kasih sayang. Mungkin aku juga bukan tipe pria penyayang, yang biasa mengajakmu sekedar jalan ataupun keluar malam. Bahkan, akupun bukan pria perhatian yang biasa mengirimkan pesan singkat pagi, siang, sore & malam untuk sekedar menanyakan “udh maem sayang?”, “lagi apa sayang?”, dan segala macam soyang-sayang lainnya. Hhe.
Sekali lagi bukan karena aku tak mau, tapi memang aku tak biasa melakukan itu.. 🙂

Tapi sayangku..
Aku ini juga bukan sufi, bukan pula tipe pria (sok) suci seperti mereka yang dengan keras menentang perayaan ini. Dengan dalih agama, dengan dalih budaya, dan segala dalil-dalil yang dibawakannya. Maaf, aku cuma tak suka menghakimi, apalagi sampai mengkafirkan saudara sendiri hanya karena mereka tak tahu dan ikut-ikutan merayakan hari ini. Ckckck..

Aku tidak merayakan hari (yang katanya) spesial ini, karena memang aku tak biasa merayakannya. Simpel bukan? hhe. Bapak-ibukku juga tidak merayakannya kok. Jangan bilang mereka nggak gaul. Mereka jauh lebih gaul dari kalian malahan. 😀 Kalau boleh, aku ingin menunjukkan kasih sayang itu kepadamu, dengan caraku. Dan itu tak kan cukup sehari dua hari sayangku.. Akan butuh kerelaan dan keikhlasan di sepanjang sisa umurmu. Seperti bapak-ibukku itu.. 🙂 Hehehe, aku ingin menyayangimu dengan sederhana. Sesederhana kasih sayang itu sendiri. Biarlah kita yang memaknai kesederhanaan itu sebagai satu kasih sayang yang mulia, sepanjang sisa usia kita.

Sayangku..
Di hari ini, dan di hari-hari seterusnya, aku ingin memohon kepada Sang Maha Mencinta, dengan segala “Rakhman-Rakhimnya” untuk kita. Semoga kita, kedua orang tua kita, orang-orang yang menyayangi kita, senantiasa terlimpah butiran kasih sayang yang tersemai dari Dzat keabadian. Semoga kasih sayang yang ada itu pula senantiasa diberikan keberkahan.. Semoga kita terhindar dari kasih sayang semu yang menyakitkan.

Ehm, sebentar, aku mau tanya, apakah kamu masih sayang aku? Hehe 😉

Ku akhiri catatan ini dengan sebuah ucapan. Selamat merayakan untuk kalian yang merayakan. Selamat tidak merayakan untuk yang memilih tidak merayakan. Sing penting ojo dho jotos-jotosan yo mas yoo.. Hehehe..

*sebuah tulisan yang sengaja ditulis hanya agar di kalender hari ini ada tulisannya, gitu aja. (Nah loh.. capek-capek baca ternyata cuman jadi korban keisengan saya kan? hahaha)
Salatiga, 14 Februari 2012.

 
5 Comments

Posted by on February 14, 2012 in Catatan Harian

 

Tags: , ,

Untuk sebuah permata dengan kilaunya yang sempurna

Untuk sebuah permata dengan kilaunya yang sempurna.

Dalam tulisan kali ini, sejujurnya saya sendiri tak tau harus dari mana mengawali. Karena semuanya terjadi secara tiba-tiba. Semua tak memerlukan waktu yang lama. Cukup singkat, namun terasa dekat. Mungkin sebaiknya aku bercerita tentang sebuah kisah lama, yang mungkin kalian pun mulai bosan membacanya. Kisah yang menceritakan tentang sosok “aku”, sosok yang tergambar sebagai seorang pemuda desa yang suka berkelana, berpetualang, dan berjalan membunuh waktu, untuk sekedar mencari suatu ketenangan dan kedamaian yang slalu ia dambakan.

Pada suatu ketika, dalam pengembaraannya, ia berjalan dalam kegelapan. Ia selalu melangkah dalam keheningan. Tak jarang ia terseok, terperosok, dan berulang kali jatuh tersungkur. Pun berulangkali ia kembali bangkit dan mencoba tuk tetap berjalan, mencari sesuatu yang ingin ia dapati, menanti sesuatu yang ingin ia jumpai, sesuatu yang ingin ia temui.

Ranukumbolo

Hingga pada akhirnya pemuda itu sejenak berhenti. Matanya melihat pada satu sudut yang tersembunyi. Ia melihat sebuah batu yang bercahaya, menyembul tersembunyi dibalik rerumputan, diantara bebatuan, yang menutupi dan melindunginya dari tangan-tangan keserakahan. Sebuah batu permata yang kecil, mungil, dan dengan kilauan cahaya yang berpendar sempurna, indah. Dan dalam ketidaksempurnaannya ia nampak menjadi lebih sempurna.

Ingin sekali sang “aku” mendekat, melihat dan menatapnya lebih lekat. Tapi aku terlalu takut, aku takut menjadi salah satu dari tangan keserakahan itu, yang akan berkeinginan menyentuh dan menggenggamnya pulang. Hingga aku hanya berani mendekat, aku hanya mengagumi dari jarak yang tak terlihat. Setidaknya, tanganku ini tak cukup dekat untuk menjangkau, apalagi mengusik ketenangan batu kecil berkilau itu.

“Ahhh.. apa yang kamu fikirkan? Tersenyum dan melamun hanya menjadikanmu seorang pemimpi. Bangun! dan lanjutkan perjalananmu. Ahh.. tapi sebentar. Aku masih ingin menikmati lamunan itu. Sebentaaar saja, lima menit saja. Bagaimana? Ah, terserah kaulah!!”.

Sesaat kemudian pemuda itu kembali duduk tersandar, menikmati senyuman dan larut dalam lamunan panjang. Berkelana di dalam imaji dan melayang dalam bayang-bayang. Mencoba kembali mengagumi batu permata yang baru saja dijumpainya. Dan tiba-tiba, “Blarrrr…!!!” sebuah letupan kecil membuatnya terperanjat, jatuh dan terjengkang, melemparkan dan mengembalikannya kedalam alam sadar.

Angin berhembus perlahan. Menerbangkan daun-daun kering yang berserakan. Membawa serta ranting-ranting patah yang berceceran disepanjang jalan. Angin itu menggulung, berputar, membentuk satu pusaran dan perlahan bergerak mendekati pemuda itu. Bukan, bukan, pusaran itu ternyata mendekati batu kecil itu. Sang batu pun ikut melayang, mengawang, dan bersinar lebih terang. Cahaya apa itu? begitu teduh, begitu menenteramkan. Persis seperti yang selama ini ia dambakan.

Belum reda dari keterkejutannya, lagi-lagi dan secara tiba-tiba, “simsalabim!!”, dengan ajaib batu permata itu berubah menjadi sesosok gadis kecil. Seorang gadis kecil mungil bertanduk kancil. Lucu, manis, menggemaskan.

“Hei, kamu siapa? Tenanglah, tenang,, aku tidak ingin mengganggumu. Benarkah kamu batu permata itu? Emm.. aku hanya mengagumimu, aku tau aku tak boleh membawamu, tapi sekali lagi aku hanya ingin mengagumimu, bolehkah?” pemuda itu mencoba ramah dan tersenyum.

“Apakah kamu manusia?” gadis kecil itu membalas manis tersenyum. “Aku hanya sebuah batu permata kecil yang sejak lama bersembunyi dibalik batu itu” sambil menunjuk sebuah besar yang melindunginya selama ini. “Jangan takut, aku tak akan mengganggumu, aku tak ingin menyakitimu, aku hanya seorang pengelana yang tersesat, dan dalam gelapku aku melihat cahayamu. Maukah kau menemaniku bicara dan bertukar cerita?” kata pemuda desa itu.

***

menyisir oro-oro ombo

“Jadi, kamu suka mendaki? Suka berpetualang dan berkelana ke tempat-tempat indah yang tersembunyi? Kalau begitu ajak aku berkelana bersamamu, aku ingin melihat dunia di belahan sana yang katanya begitu indah mempesona. Hei, pokoknya ajak aku kesana! Selama ini aku hanya bisa mendengarnya dari tutur kisah sang angin yang menceritakannya.”

“Kamu ingin ikut aku berkelana? Tapi berjalan jauh itu tak mudah, permata.. berkelana itu capek.. Atau kau ingin masuk kedalam ranselku? Berejejalan bersama alat-alat dan perbekalanku lainnya?”

“Nggak, nggak mau! aku mau masuk di kantongmu saja, hihihihi”

“Ah, dasar kamu permata kecil yang nakal..!!” 🙂
“Yasudah, tapi kamu jangan gerak-gerak ya..!! ampun polah-polah..! tetep diem dan anteng didalam kantongku.”
“Ingat, tetap diam dalam kontongku. Aku harus menjagamu sepanjang perjalanan dan memastikanmu baik-baik saja. Aku tidak ingin kamu terjatuh apalagi hilang ditengah jalan. Nanti, disana, akan kutunjukkan kepadamu sebuah tempat yang seperti surga, nanti akan kuperlihatkan padamu sebuah telaga yang berwarna biru, dengan kemilau airnya memantulkan pendaran cahaya, sama sepertimu. Kamu bisa membasuh mukamu dengan airnya yang jernih dan menyegarkan, dan aku yakin, kilauan permatamu akan semakin sempurna”.

“Bener yaaa.. pokoknya ajak aku kesana! Ajak aku juga ke hamparan savana dan padang rumput luas yang katanya dikelilingi dengan bukit-bukit indahnya itu.”

***

Tanjakan Cinta – Gn.Semeru

Hahaha, tahukah kamu, permata kecil? Kadang aku masih sering tertawa mengingat obrolan-obrolan konyol kita itu. Tak jarang pula penggalan-penggalan adegan itu hadir dalam imaji liarku. Aku membuatkanmu segelas susu cokelat panas dan kamu bilang nggak mau joinan susu itu dengan si “semeru”, kamu bilang kasihan dia sedang sakit dan terbatuk-batuk, cepet sembuh ya semeru.. hhe. 🙂 Kamu tau? kadang aku juga membayangkan bagaimana jika nanti kamu beneran ngambek, nangis, dan nggak mau berjalan menaiki tanjakan. Sebenarnya aku tidak ingin membayangkan aku menggendongmu, tapi, tetap saja hal-hal konyol seperti itu melintas dalam imajiku. Hahaha.. Ranukumbolo, tanjakan cinta, oro-oro ombo. Dan pada akhirnya aku akan tersenyum puas ketika kamu berhasil sampai di oro-oro ombo, dan kemudian tubuh mungilmu tenggelam diantara rerumputan tinggi yang ada di tengah padang savana itu. :p

Hmmmm… mudah-mudahan yang Diatas memeluk mimpi-mimpi kita itu yaa. Semoga waktu dan kesempatan memepertemukan kita. Seperti halnya garis-garis yang ada di telapak tangan kita, tentang nasib, tentang jodoh, tentang hidup, tentang masadepan, setidaknya kita sendiri telah menggenggam erat garis-garis itu, meskipun selalu ada bagian garis yang berada diluar genggaman, tapi biarkan itu menjadi bagian Tuhan. (meminjam sebuah ungkapan).

Nah kan, aku jadi bingung juga bagaimana mengakhiri tulisan ini. Ahhh.. biarkan saja tulisan ini menjadi sebuah tulisan yang tak pernah usai. Mari kita isi dan kita lanjutkan dengan cerita-cerita konyol yang terjadi dikemudian hari. Hhe, buat de’ anind, terimakasih telah menjadi inspirasi, dan terimakasih juga untuk puisinya 😉

Salatiga, 9 Februari 2012.
Diselesaikan pada pukul 02.17 AM

 ___________

*seperti yang kubilang, tulisan ini tak pernah usai, dan diakhir cerita ini yok nyanyi lagunya om Duta biar lebih semangat..!!
Jreng jreng jreng… (cek sound, hhe) “Datanglah sayang, dan biarkanku berbaring, dipelukanmu walaupun tuk sejenak. Usaplah dahiku dan kan kukatakan semua. Bila ku lelah tetaplah disini, jangan tinggalkan aku sendiri. Bila ku marah biarkanku bersandar, jangan kau pergi untuk menghindar..
Rasakan resahku dan buat aku tersenyum, dengan canda tawamu, walaupun tuk sekejap. Karena engkaulah yang sanggup redakan aku. Karena engkaulah satu-satunya untukku, dan pastikan kita slalu bersama. Karena dirimulah yang sanggup mengerti aku, dalam susah ataupun senang..
Dapatkah engkau selalu menjagaku, dan mampukah engkau mempertahankanku..”

“Lanjut??”
“Gausah dilanjut, ayo bilang “aminnn”. Hha :))

Menanti Matahari Terbit – Ranukumbolo
 
4 Comments

Posted by on February 9, 2012 in Catatan Harian, Spirit & Motivation

 

Hey, Aku menyukai nama itu..!!

Hey, Aku menyukai nama itu..!!

04/02/2012 – Aku percaya, bahwa setiap nama tentunya menyimpan suatu makna. Bisa jadi ia berupa tautan doa, menyimpulkan suatu rangkaian pengharapan, kekaguman, dan rasa syukur dari si pemberi nama. Atau mungkin ia hanya sebagai sebuah penanda, sebuah “tetenger”, yang melambangkan suatu kisah dan suatu masa. Tapi aku yakin, dibalik setiap nama itu, masing-masing akan memiliki suatu arti tersendiri. Aku tak tau mengapa aku berbicara tentang nama, aku tak tahu juga kenapa harus menuliskannya. Tiba tiba saja aku mengagumi sebuah nama. (nampaknya ini akan berakhir menjadi sebuah tulisan geje, hhe)

Sssttt.. aku kasih tau, aku mengagumi “nama” itu, nama seorang gadis kecil bertanduk kancil. Jangan bilang siapa siapa, dan jangan tanya mengapa, karena aku tak menyiapkan alasannya. Dan aku pun tidak ingin “karena” 🙂

Aku juga mengagumi nama yg dihadiahkan ayahku, untukku. Meski mengandung kata “abdul” yang terkesan jadul, haha, tapi aku suka namaku. Aku juga suka nama “Teplok” yang disematkan secara paksa oleh keluarga Stapala. Nama yang sederhana (dan mencerminkan kesederhanaan), lampu minyak usang yg telah banyak ditinggalkan. Tapi ia akan selalu siap berbagi cahayanya meski hanya ketika kau membutuhkan.

Aku juga mengagumi nama-nama dewi yang bersemayam di puncak-puncak gunung yang tinggi, seperti Rengganis, seperti Anjani.. Atau nama taman-taman surga tersembunyi, seperti lembah mandalawangi, ranukumbolo, orooro ombo, dan jonggringsaloka.
Aku juga menyukai nama-nama hebat seperti yg terserat dalam kitab suci. Daud, Jalut, dan Thalut, dan juga Qobil serta Habil, dan termasuk kisah epic yang menamai ibrani dan babiloni. Nama nama yang membuatku kagum. Sekali lagi, jangan tanya kenapa.

Entahlah, tiba tiba aku menyukai sebuah “nama”. Dan jika boleh ku ulang sekali lagi, maaf aku suka nama kamu.. 🙂

________
*sebuah catatan konyol maronyol. Selepas isya’, dibawah rintik gerimis yang manis. Terimakasih untuk nama dan kata yang telah kupinjam. Nanti, pasti kukembalikan. 🙂

 
4 Comments

Posted by on February 4, 2012 in Catatan Harian

 

Tags: , , ,

“Dalam” ini, untuk siapapun kamu..

“Dalam” ini, untuk siapapun kamu..

Dalam diam, dalam hening, dalam dingin, dalam beku, dalam syahdu, dalam pekat, dalam hangat, dalam temaram, dalam kelam, dalam petang berbalut bintang, dalam semburat jingga langit senja, dalam kedalaman jiwaku, dalam senyummu, dalam untaian katamu, dalam semangatmu, dalam semangatku, dalam puisimu, dalam senyumku, dalam kisahku, dalam mimpimu, dalam lagu, dalam embun, dalam rintik, dalam gerimis, dalam penantian, dalam perkenalan, dalam perbedaan, dalam persamaan, dalam imaji, dalam sepi, dalam diri, dalam kantong-kantong itu, dalam hamparan padang-padang itu, dalam ketidak sempurnaan itu, dalam hembusan doa-doa itu, dalam apa yang aku dan kamu pun tak tahu. Cukup aku, kamu, dan Tuhan kita yang Maha Tau.
Menyongsong pagi, berharap bukan lagi mimpi.
Dalam kumandang “Assholaatu khoirumminannauum..”, kuakhiri catatan ini.

*sebuah catatan tak bermakna, cukup dibaca, dan salah seorang dari kamu akan tersenyum dan berkata, “apakah itu aku?” 🙂

Sabtu, 04 Februari 2012, sesaat menjelang adzan subuh.

 
10 Comments

Posted by on February 4, 2012 in Catatan Harian

 

Tags: , , , ,

Kesombongan masa muda yang indah (?)

Kesombongan Masa Muda yang Indah.

Satu nomor tembang milik sheila on 7 mengalun perlahan dalam playlist pagi ini, bersama segelas kopi yang menjadi teman menggalau kali ini. Menghabiskan sisa-sisa jum’at malam yang terasa begitu membosankan, sedikit kecewa dengan kabar pengumuman penempatan yang konon katanya bakal dirilis hari ini, namun nyatanya hingga dini hari tak juga jelas alang juntrung kebenarannya. Shhh*t..!! hoax thok ternyata. Ahhh bukankah itu di kampus ini sudah biasa.. 😀

Selepas nyanyian ratapan “sarjana muda” dari iwan fals, irama dan bait bait sederhana dari om Duta ini serasa menjadi pengobat luka. Alunan nada-nada dan syairnya seperti romansa, yang mampu memutar kembali kenangan dan menyegarkan ingatan betapa kita masih teramat muda.

“kita slalu berpendapat kita ini yang terhebat, kesombongan masa muda yang indah..”

Hahaha, ya, satu kesombongan yang indah, satu kesombongan yang senantiasa membuat kita bebas tertawa lepas, satu kesombongan yang membuat kita menepuk dada dan bangga terhadap diri kita. Bangga terhadap kebersamaan kita, bangga terhadap pencapaian-pencapaian kecil kita.

Huh, tiba-tiba saja saya merindukan masa masa itu. Tiba tiba kangen kosan, tiba tiba kangen suasana perkuliahan, tiba tiba kangen nongkrong dan ngobrol di warung kopi, kangen main kartu dan ngobrol sampai pagi, kangen jalan keliling-keliling gak jelas muterin kota jakarta.
Hehe, jadi ingin mengulang masa-masa itu kembali. Hidup yang tak sebatas jalan bareng gebetan, numpang baca buku di gramedia, sekedar makan di warung pinggir jalan, menggalau di pelataran DP yang kita anggap sakral, atau bahkan seperti orang tak waras nangkring diatas rangka besi setinggi belasan meter itu, bertengkar atau berdebat oleh hal hal yang sedemikian amat sangat sepele, hehe.
Atau, ketika kita dengan jumawa mencoba menaklukkan satu persatu gunung-gunung yang ada di bumi Indonesia kita tercinta, melawan derasnya arus dan menikmati setiap liukan & jeram jeram sungai yang kini tak jernih lagi airnya, atau kau yang memilih menikmati keindahan dalam kegelapan labirin perut bumi, menyeruak menyusuri goa demi goa yang bahkan aku sendiri tak pernah mencobanya. Atau mereka yang dengan kuat merayap memanjat tebing-tebing tinggi dengan lengan lengannya yang perkasa. Ah, terlepas dari kesombongan-kesombongan kita itu, satu hal yang ku rindukan dari kalian, dari masa muda kita, adalah kebersamaan dan kesederhanaan. Kesederhanaan dalam menerima satu sama lainnya, kesederhanaan dalam memaknai kehidupan dan melukis kebahagiaan.

Aku raja kau pun raja, aku hitam kau pun lebih hitam..!! haha.

“Demi bermain bersama, kita duakan sgalanya. Merdeka kita, kita merdeka..!!
Tak pernah kita pikirkan ujung perjalanan ini, tak usah kita pikirkan ujung perjalanan ini..”

Sebuah bait penutup yang seketika menepis pemikiran bahwa mungkin sebentar lagi masa akan mengantarkan pada cerita yang berbeda, masa yang akan membawa kami ke dunia yang mungkin meluluh lantakkan kesombongan kita, kesombongan masa muda yang indah.
Tapi coba lihatlah, dari kejauhan aku melihat, disana ada kehidupan, ada nyanyian, dan ada keberanian.

*tulisan ini, untuk saya sendiri, & untuk mereka yang menghargai sebuah masa muda.
Salatiga, selepas subuh, 28 Januari 2011

 
Leave a comment

Posted by on January 28, 2012 in Catatan Harian

 

Tags: , , ,

Simbahku, jan nguanyeli..

Simbahku, jan nguanyeli..

Simbah, (satu satunya simbah/nenek kami yang masih hidup, wanita yang melahirkan dan membesarkan ayah kami), beliau sudah hampir dua bulan ini tinggal dirumah bersama kami sekeluarga, setelah sebelumnya selalu berpindah pindah dan selalu tidak betah tinggal lama bersama anak anaknya yang lain.

Beliau sudah sangat sepuh, semenjak jompo, beliau mulai pikun dan berkelakuan seperti anak kecil lagi. Wajar sih, kata bapakku usianya sekarang sudah melewati angka 100, walaupun tak yakin pasti yang ke seratus berapa.
Beliau nampak sudah tak ingat lagi dengan siapa dan apa yang ada disekitarnya, termasuk anak-anaknya sendiri.
Ia hanya hidup dengan sifat, watak, dan kebiasaannya sewaktu muda dulu.
Sedikit tamak, banyak “dahar”, dan aluamah. Hehe, kedengaran negatif memang, tapi memang begitu kenyataanya. Kata ibuku itu semua mencerminkan seluruh sifatnya sewaktu “hidup” dulu. Sekarang otak yang memerintahkan apa yang dilakukan simbah bukanlah otak sadar, melainkan otak bawah sadar yang tertanam oleh kebiasaan seseorang yang dilakukannya sedari kecil. Kurang lebih begitu penjelasan ilmiahnya. (padahal ngarang!)

Simbah memang sudah tidak bisa melakukan apa apa. Sudah bobrok! Hanya terbaring meringkuk di dipan kayu beralaskan perlak cokelat dan memakai popok dewasa. Paling banter hanya bisa duduk bersandar pada bantal yang ditumpuk ketika belium minum atau dahar. Tapi herannya, kalo “dahar” itu seperti orang sehat saja. Lahap, dan dengan porsi luar biasa. Lebih dari porsi makan saya mungkin. Hehe..
Setelah itu beliau “sare”, atau kadang berbicara sendiri selayaknya orang yang sedang bercakap-cakap, entah dengan siapa.
Kadang saya takut sendiri, ini simbah ada temen ngobrol beneran atau gimana yaa.. hehe.

Kadang simbah ini juga rewel, minta ini itu, berteriak-teriak dan berbicara sendiri sepanjang malam, yang membuat kami tidak bisa tidur dengan tenang semalaman.
Ya seperti malam ini contohnya, beliau berteriak teriak memanggil mbah kakung yg telah lebih dulu pergi, bahkan jauh sebelum saya lahir.
“Pa’e.. pa’e.. aku rainjoh tangi..”.
“Njuk ngombe wedang legi..”.
“Kowe kumu wes matengan?”
Ah, jika simbah sudah mulai bicara aneh2 seperti ini, maka saya yg tidur dikamar sebelahnya terpaksa mengungsi tidur di depan TV. Hehe.

Dari lantai di ruang depan itulah saya menulis tulisan iseng ini. Mencoba mengambil sedikit ibroh dari sepenggal cerita gakpenting yang saya tuturkan diatas tadi.

Saya kepikiran bahwa suatu saat nanti kita pun pasti akan menua, seperti simbah sekarang ini, yang tinggal menunggu kapan izrail datang menghampiri.
Bahkan kita yang sekarang masih muda pun, belum tentu mengalami masa tua, jika ternyata memang sudah tiba gilirannya. Tak ada yang tahu pasti, Tuhan dengan rahasiaNya yang lebih tau.

Dan jika kita diberikan umur panjang, ternyata kebiasaan kebiasaan (perbuatan) kita sewaktu muda akan terbawa ketika kita sudah tak ingat lagi apa apa. Entah kebiasaan baik ataupun kebiasaan buruk. Seperti simbah ini.
Toh, jika maut menjemput, yang boleh kita bawa juga amalan amalan kita saja bukan?
Maka itu artinya sedari saya harus membiasakan diri melakukan hal hal yang baik. Sedikit demi sedikit mengurangi atau bahkan meninggalkan kebiasaan yang tak baik. Catatan: Itu, jika saya ingin menjadi orang baik. 🙂

Ibroh yang ketiga adalah bagaimana ibu & bapak saya dengan penuh bakti bersabar menghadapi kelakuan simbah yang aneh-aneh ini. Merawat dan menjaga dengan penuh kasih sayang, persis seperti merawat seorang bayi. Memandikan, menyuapi makan, mengganti kain jarit dan popok yang penuh dengan kotoran.. Ya, maka tak salah jika kanjeng Nabi mengajarkan kita agar berbuat baik dan mendoakan kedua orang tua kita, menyayangi mereka, sebagaimana mereka merawat & menyayangi kita sewaktu kecil dulu. Terutama kepada ibu, yang tiga kali disebut berulang oleh kanjeng Nabi sebagai orang pertama yang harus dimuliakan dalam hidup.

Ke empat, ibrohnya belakangan ini saya jadi sering terbangun di tengah malam ketika simbah tiba-tiba teriak teriak bicara sendiri. >> kalo nggak males, kan, bisa sholat malam. Kalo males? bisa nonton bola..!! haha.

Ibroh yang kelima? ya akhirnya kan tulisan gakjelas ini bisa nambah nambahi postingan di blog yang setelah beberapa lama tak sempat terjamah. Huehue..

Saya akhiri tulisan ini dengan doa, mari mengaminkan untuk kedua orangtua kita semuanya..
“Robbi ighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaani soghiira”.
(tiba tiba barusan mendengar suara gagak yang tak biasa dari arah sana, sumpah, hii merinding saya. *buruburu tarikselimut)

*Sabtu, 21 Januari 2012. Ditulis di Susukan, sebuah kecamatan perbatasan antara Kab.Boyolali dengan Kab.Semarang.

==========
Keterangan:
(dahar=makan, bahasa jawa) ; (sare=tidur) ; (ibroh=hikmah,pelajaran,teladan)

 
2 Comments

Posted by on January 21, 2012 in Catatan Harian

 

Tags: , ,

Kerinci 3.805 Mdpl [bagian 1]

Kerinci 3.805 Mdpl

Tulisan ini untuk mengenang satu perjalanan kami di tanah sumatera, sepuluh hari menjelang wisuda Oktober silam. Saya dedikasikan untuk kawan, sahabat, dan saudara kami, Muhammad Ramdhani, Erwin Tarzani, dan Tinton Suryahadinata, serta untuk STAPALA.

CH. I – Prolog

Berawal dari mimpi, begitulah kami menyebut perjalanan ini. Sebuah perjalanan setengah nekat menyeberang laut sunda dan menapakkan kaki di tanah Sumatera. Mengawali goresan mimpi yang tercetus sebagai sebuah ekspedisi. Perisai nusantara, begitulah kami menyebutnya. Sumatera, sunda, jawa, bali, lombok, dan kepulauan sunda kecil yang meliputi nusa tenggara dan berujung di Tambora. Satu kurva melengkung yang menyerupai busur panah, atau kami memaknainya sebagai satu bentuk perisai, tameng kokoh yang melindungi nusantara dari amukan gelombang samudera hindia. Ya, melakukan perjalanan dari pulau ke pulau itulah awal dari mimpi kami. Menyambangi puncak-puncak tertinggi yang berdiri di setiap pulaunya. Kerinci, krakatau, semeru, agung, rinjani, hingga tambora. Sekali lagi, itu adalah “mimpi”. Mungkin banyak yang menertawai, hehe, saya pun sebenarnya juga menertawai diri sendiri. Satu mimpi yang terlihat sedemikian muluk-muluk untuk diwujudkan oleh sekumpulan pemuda kere seperti kami. “Bagai munyuk merindukan belaian, bagai punguk merindukan rembulan”. Tapi toh apa salahnya bermimpi, kalaupun tak terwujud mimpi akan tetap menjadi bunga tidur, dan selamanya tidak akan pernah terwujud bila kita nggak pernah mau mencoba berbuat sesuatu untuk menjadikannya kenyataan.

Berawal dari mimpi itulah, kami berempat, dengan segala keterbatasan dana dan waktu yang dimiliki, mencoba meretas asa mewujudkannya. Oktober 2011, tepat 10 hari sebelum kami diwisuda, kami bertekad berangkat ke sumatera. Berbekal uang sisa rapelan PKL sebesar Rp 300.000,- ditangan, saya memastikan ikut dalam rombongan. Secara matematis tak cukup memang, kata Gokong, dengan uang segitu cuma bisa sampai di Jambi saja, dan belum bisa balik ke Jakarta, jadi mending saya jadi tim darat saja. Haha.. Tapi kawan-kawan saya meyakinkan untuk tetap berangkat, bismillah modal nekat, apalagi racun si Ramdhani yang selalu bilang bahwa “Momment itu nggak terbeli”. Ya, nggak terbeli. Mungkin kita nggak bakal bisa mendapatkan momment yang sama pada kesempatan yang berbeda. Maka, pada hari Rabu, 2 Oktober 2011, kami berempat bertolak dari Posko. Seremonial pelepasan sederhana berupa doa bersama penuh khidmat dibawah pohon bintaro dengan disaksikan oleh Pak Dosko, Ketum Jupret, Balung, dan saudara saudara kami lainnya. Siang itu, anggota dengan nomor 882, 923, 940 dan 946 dengan bangga menggenggam bendera STAPALA untuk dikibarkan di puncak tertinggi sumatera. Kerinci 3.805 Mdpl.

***

CH. 2 – SEKILAS TENTANG KERINCI
Dari Wikipedia

Gunung Kerinci

Gunung Kerinci (1987)
Ketinggian 3,805 m (12.484 ft)
Ketinggian topografi 3,805 m (12.484 ft) Urutan ke-33
Daftar Ultra
Ribu
Lokasi
Pegunungan Bukit Barisan
Koordinat 1°41′48″S 101°15′56″EKoordinat1°41′48″S 101°15′56″E
Geologi
Jenis Stratovolcano
Busur/sabuk vulkanik Cincin Api Pasifik
Letusan terakhir 2009
Pendakian
Pertama didaki 1877 oleh von Hasselt and Veth
Rute termudah Kersik Tuo

Gunung Kerinci (juga dieja “Kerintji”, dan dikenal sebagai Gunung Gadang, Berapi Kurinci, Kerinchi, Korinci, atau Puncak Indrapura) adalah gunung tertinggi di Sumatra, dan puncak tertinggi di Indonesia di luar Papua. Gunung Kerinci terletak di Pegunungan Bukit Barisan, dekat pantai barat, dan terletak sekitar 130 km sebelah selatan Padang. Gunung ini dikelilingi hutan lebat Taman Nasional Kerinci Seblat dan merupakan habitat harimau sumatra dan badak sumatra.

Kerinci masih aktif dan terakhir kali meletus pada tahun 2009.

***

CH.3 – MELEPAS JAKARTA, MELINTAS SUMETERA

Setengah jam menjelang keberangkatan masing-masing dari kami masih disibukkan dengan packing perlengkapan dan mencari alat-alat yang dibutuhkan. Segala sesuatunya memang dadakan, segala sesuatunya memang tak dipersiapkan dengan waktu yang luang. Bahkan semalaman pun kami masih sempat futsal hingga larut malam dan begadang hingga subuh menjelang. Jan niat neng sumatera tenanan ora sih arek-arek iki. Rencana berangkat jam 09.00 pun sepertinya Cuma omong kosong. saya sendiri jam sembilan baru bangun, sengaja malam itu tidur di posko memang, dan tiga puluh menit berikutnya tak satupun dari tiga orang rekan saya itu menunjukkan batang hidungnya. Hmm.. jadi berangkat hari ini nggak sih?

Akhirnya ba’da dzuhur kami baru benar-benar berangkat. Perlahan kami berjalan ke arah gerbang ceger, melintasi plasma. Ada satu hal yang tak wajar, dan teman kami tak menyadarinya. Dan anak-anak pun tertawa puas dari posko sana. “Coba tan lihat carriermu”, saya tersenyum ringan berbicara pada si mantan (erwin). Dengan penasaran dia menurunkan tas ranselnya, lalu dibongkar dengan tergesa-gesa. Hahaha.. dia menemukan tiga kilo gram besi pemberat barbel yang diam-diam dimasukkan kedalam tasnya. Kerjaan si codet ini pasti..!! Salah sendiri carrier si mantan ini paling ringan. Hehe.. Salah satu kejadian konyol mengawali keberangkatan kami. Setidaknya, kami mengawali perjalanan dengan sebuah tawa, semoga pendakian ini berakhir dengan senyum dan tawa pula. Aminnnn..

Dari gerbang ceger kami menumpang sebuah angkot yang menuju cipulir, turun di persimpangan rel kereta, kemudian menyambung kopaja jurusan Blok M. Dari Blok M kami naik bus mayasaribakti jurusan Rawa Mangun. Menurut informasi yang kami dapatkan, dari sanalah banyak pilihan bus lintas sumatera diberangkatkan. Sekitar satu setengah jam berselang akhirnya kami tiba di rawa mangun, perlu sedikit berjalan untuk menuju terminal, karena bus yang kami tumpangi tak masuk kedalam rupanya. Calo dan agen makelar langsung berebutan menyambut kami. Bak artis yang dikerumuni fans-fansnya, dibawakan barang bawaannya, baru ditanya mau kemana, dan menawarkan jasa armada dengan pelayanan terbaiknya. Bus Eksekutip, full AC, cepat dan nyaman. Haha, mboten paaak.. kulo ajeng ndherek bis ekonomi kok… kantong mahasiswa!!

Mahasiswa dengan kocek pas-pasan seperti kami ini, sudah pasti nyarinya yang murah dan meriah, soal kenyamanan itu urusan belakangan, nomer sekian. Yang penting bisa nyampe di tempat tujuan. Target awal kami adalah mencari bus ekonomi non AC yang perkiraan kami bisa kami dapatkan dengan tarif dibawah duaratusan. Karena rata-rata bus AC lintas sumatera itu mahal sekali pasang tarifnya, berkisar pada angka tigaratusan. Tapi ternyata oh ternyata, setelah muter-muter dan cari tau sana sini, di terminal ini ternyata nggak ada bus ekonomi yang ke sumatera. Alternatif lain dengan ngeteng-ngeteng ke pelabuhan merak, lalu menyeberang kapal, dan mencari bis dari lampung atau palembang juga dirasa bukan pilihan terbaik. Ada juga alternatif lain yaitu ikut semacam mobil avanza, mobil ini katanya mobil keluaran dari showroom dan akan dikirim ke Jambi. Oleh sopirnya biasanya mereka mencari tambahan uang rokok dengan membawa penumpang yang akan ke sumatera melalui agen tidak resmi. Cukup menggiurkan, apalagi mereka kemungkinan bisa dinego dengan tarif 150an per kepala. Tapi sekali lagi kita nggak tau pasti ini gimana, apa benar-benar sampai jambi atau bakal diturunkan ditengah jalan.

Banyak hal yang bisa kami petik dari kejadian-kejadian di terminal. Mereka mengajarkan pada kami betapa kerasnya kehidupan. Betapa kerasnya orang mati-matian mendapatkan penumpang yang artinya persenan recehan bagi mereka, dan dapur mengepul bagi keluarga mereka. Karakter batak, jawa, sunda, padang, dan berbagai daerah lainnya dengan mudah kita temui disana. Dan kami beruntung memiliki seorang berdarah bugis dalam tim kami. Darah nenek moyang pelaut yang tak gentar (lebih tepatnya tak punya malu, hehe) menghadapi sopir dan kondektur yang berbicara seolah olah terminal ini punya dia. Ya, setelah nego sana nego sini, disemprot sana dimaki-maki disini, akhirnya kami dapat juga tiket menuju Jambi. Seratus tujuh puluh lima ribu per orang. Deal..!!

Selepas sholat maghrib, bus Permata Bunda yang kami tumpangi perlahan mulai meninggalkan Jakarta. Beberapa jam selanjutnya ia menyeberang selat sunda. Mesin bus dimatikan, dan seluruh penumpang diturunkan. Sementara bus terparkir di lantai dasar kapal penyeberangan, para penumpang masing-masing berhamburan mencari tempat peristirahatan. Kami memilih dek di lantai tiga. Dek kelas ekonomi, dek terbuka dengan atap penutup bagian atasnya saja. Angin dingin berhembus tanpa pembatas, bercampur debur ombak yang terpecah oleh laju kapal itu. Gugusan kepulauan di seberang nampak megah dalam kegelapan. Lampu-lampu kemerlip di ujung sana membuat suasana malam itu sungguh sangat syahdu. Tak heran jika kawan kami si mantan dengan mudahnya terinspirasi membuat sebuah puisi. Mengenang saat-saat melintasi selat ini bersama seseorang yang terkasih. Hoho, so sweet sekali bung..!! Bagi saya, inilah pertama kalinya naik kapal, pertama kalinya menyeberangi lautan.

***

CH. 4 – SUMATERA..!! SUMATERA..!!

Setelah tiga jam kami terombang ambing di laut sunda, akhirnya kapal bisa kembali merapat ke darat. Selamat datang di Pelabuhan Bakauheni – Lampung, begitu kata seseorang lewat pengeras suara. Dan tibalah kami di tanah sumatera, untuk pertama kalinya. Kami semua bergegas kembali ke lantai bawah, menaiki bus masing-masing. Dan kemudian kembali melaju melewati kota demi kota di sepanjang jalur lintas timur sumatera. Lampung, palembang, jambi, dan kota kota kecil lainnya. Selebihnya, daerah pinggiran pedesaan dan hutan-hutan.

Selama perjalanan bus berhenti beristirahat dua kali, yang pertama saat masih pagi. Kami sarapan di sebuah rumah makan rekanan PO bus tersebut. Beruntung kami membawa popmie dari Jakarta, tinggal beli air panasnya saja dan diseduh sendiri. Nggak kebayang kalo harus beli, satu bungkus POPMIE dihargai Rp 15.000,- Ngajak kere ngene iki carane…
Yang kedua, bus berhenti siang hari, sebelum atau sesudah palembang saya lupa. Kali ini di sebuah rumah makan bergaya khas padang. Perut yang lapar dan cuaca yang panas membuat kami tak kuasa menahan diri untuk tidak membeli nasi dan es teh. Disini, untuk makan dan minum kami harus merogoh kocek tak kurang dari Rp 20.000,-. Wez rapopo, cukup sekali ini saja, kapok!! Hahaha.

Next..
Perjalanan siang hari adalah perjalanan yang melelahkan sekaligus membosankan. Memang benar kita bisa menikmati pemandangan sepanjang jalan melalui kaca jendela. Tapi AC yang bercampur bau solar dan bau keringat puluhan manusia membuat udara didalam “gerbong” sempit itu tak karuan. Perut saya sudah mual sedari tadi, mencoba untuk tidak muntah karena mabok kendaraan bagi saya adalah mencoreng harga diri. (wkwkwk, gara-gara sering ngejekin temen yang mabok kendaraan ini). Pantat sudah terasa penat dan punggung sudah begitu pegal duduk menyandar pada jok kursi yang sempit. Kaki saya harus menekuk, cukup susah dan harus mengatur posisi sedemikian rupa agar bisa sekedar selonjoran. Di samping saya, gembez, nampak selalu molor menyandarkan jidatnya pada bangku didepannya. Atau bersandar tengadah dengan mulut yang terbuka. Ngowoh..!! Hoek..!! Tak ada pilihan lain bagi saya kecuali ikut memaksa memejamkan mata. Tidur.

Next…
Hari sudah sore, kami baru saja melewati palembang. Di perbatasan kota, seorang kawan kami nampak antusias menjelaskan daerah demi daerah yang baru saja kami lalui. Hafal betul dia seluk beluk kota ini. Yaiyalah, lhawong dia asli palembang. Hehe. Tak ada yang menarik bagi saya di kota sriwijaya ini, mungkin karena telinga saya sudah terlalu bengap dengan suara bising mesin kendaraan itu. Perut yang mual sedari tadi membuat kepala saya menjadi berkunang-kunang tak karuan. Teman kami yang satu ini masih menjelaskan daerah demi daerah di sudut kota itu. “Ntar yangplok, habis belokan itu ada semacam pertigaan, nanti ada jalan masuk kesana, nah disitu rumahnya..”. Ihirrrr..!! tak perlu lah saya menceritakan detilnya. Ndak enak sama si kawan ini nanti, hhe. Hanya sebagai pelengkap deskripsi cerita saja. (no offense, Tan..)

Next…
Selepas maghrib. Saya mencoba bertanya pada penumpang di sebelah yang sepertinya sudah paham betul perjalanan lintas sumatera. “Kalo sampe Jambi dari sini masih berapa jam lagi bu’?”. Membayangkan sejenak, lalu ibu itu menjawab “Yaa kalo dari sini masih sekitar enam jam tujuh jam lagi dek..”. Krik.. krik.. krik… masih setengah malam sendiri. Padahal terhitung dari jakarta, saat ini kami sudah melalui 24jam perjalanan darat yang melelahkan. MaasyaaAllah..  Sejujurnya kami sudah lelah meringkuk dalam kendaraan ini. Mata kami sudah lelah terpejam. Bahan obrolan pun sudah  malas dilontarkan. Yasudah, nikmati saja perjalanan ini. Nanti toh juga akhirnya sampai sendiri. Oke, kita tidur saja lagi.

Sementara itu, bowaz dan gembez nampak sibuk dengan ponsel mereka masing masing. Keduanya nampak menghubungi sanak saudara mereka yang ada di jambi. Si Bowaz ada kakaknya yang polisi, dan gembez ada pamannya yang kebetulan sedang naik haji. Tentu saja selain silaturrahmi, tujuan utama kami adalah mencari tempat tebengan menginap malam nanti. Hehe..

Pukul 01.15, sudah memasuki hari ketiga semenjak keberangkatan kami dari Jakarta.
Sang kondektur berteeriak “Jambi… Jambi.. Jambi..”. Ah sampai juga rupanya. Kami turun di terminal simpang rambo, di depan sebuah agen penjualan tiket bus permata bunda dan beberapa agen lintas sumatera lainnya. Beberapa saat berselang, di seberang jalan sana berhenti sebuah mobil hitam keluaran tahun 90an. Sang paman melambaikan tangan lalu turun menghampiri kami. Beliau datang bersama putra sulungnya, si Rama. Carrierpun dipindahkan ke bagian belakang mobil. Kemudian perlahan mobil itu melaju meninggalkan simpang rambo. “Kita makan dulu” kata si paman sambil membelokkan mobilnya ke tepi sebuah jalanan. Warung ayam goreng dengan nasinya berupa nasi uduk. Perut lapar kami tak segan menghajar apapun yang ada dihadapan kami.

Menemani makan “sahur” kami si paman banyak bercerita tentang pengalaman-pengalaman masa mudanya, banyak hal demi hal yang lucu terlontar dari penuturannya. Banyak pula pelajaran-pelajaran berharga yang bisa kami petik darinya. Si Sulung, yang ternyata anak sispala juga pernah mendaki kerinci, maka klop sudah pembicaraan kami.

Siang harinya kami belanja logistik dan segala keperluan selama pendakian di pasar depan komplek perumahan itu. Tak jauh dari rumah paman, hanya cukup berjalan menyeberang pekarangan orang. Seragam biru STAPALA yang kami pakai membuat beberapa pasang mata mengawasi curiga. Dikiranya petugas apa kali ya..

***  

CH. 5 – MENUJU KAKI KERINCI

Kami kembali diantar ke simpang rambo, untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke kersik tuo, basecamp pendakian di kaki gunung kerinci. Jangan berfikir bahwa jambi –  kersik tuo itu dekat bung. Dari jambi ke sungai penuh saja (kota terakhir sebelum kersik tuo) sama dengan perjalanan jakarta – jogja. Sepuluh jam..!!. Dari sini hanya ada dua alternatif transportasi. Yang pertama travel yang membawa kita langsung ke sungai penuh. Tarifnya berkisar antara Rp 100.000 s/d 120.000, hanya saja adanya Cuma pagi jam delapan dan sore atau malam. Alternatif yang kedua dari jambi kita naik bus ke terminal bangko, dengan waktu tempuh sekitar lima jam perjalanan. Dari bangko nanti baru kita menuju sungai penuh. Akhirnya pilihan yang kedualah yang kita pilih, alasannya selain sedikit lebih murah, juga kita bisa langsung berangkat.

Jangan kaget melihat bus-bus antar kota di sumetera. Muatan barangnya akan lebih banyak ketimbang penumpangnya. Bahkan di kap atas, nampak barang barang dan kardus besar tersusun setinggi dua kali bus itu sendiri. Lebih menyerupai bus tingkat di daerah solo pikir saya.

Lima jam berikutnya kami sampai di terminal Bangko. Setelah membayar Rp 30.000 kami turun dan langsung disambut agen travel yang menawarkan armada menuju sungai penuh. “Limapuluh ribuan aja langsung saya antar ke penuh sekarang”. Tanpa fikir panjang kamipun langsung mengiyakan. Dan mobil L300 itu langsung berangkat meski Cuma terisi empat orang. Wuzzzz pak sopir ngebut dan  tahu-tahu lima jam berselang kami sudah tiba di sungai penuh. “Baru jam setengah tiga”, kata si mantan.

Di kota mati ini bahkan kami tak tahu harus menuju kemana. Dua tempat yang menjadi favorit gembel seperti kami adalah masjid dan terminal. Tapi bahkan ini belum subuh, kami tak tahu suara langkah kaki kami. Menapaki jalan beraspal yang nampaknya salah satu jalur di tengah kota. Beruntung kami melewati sebuah pos ronda, sekumpulan pemuda nongkrong berbasa basi menyapa kami. Obrolan singkat pun terjadi. Dari mana, mau kemana, sama siapa?. Dan mereka setengah terkejut mengetahui kami rombongan dari Jakarta yang hendak mendaki kerinci namun tak ada satupun dari kami yang tahu seluk beluk daerah ini. “Ah sebaiknya kalau mau ndaki minta diantar saja sama si kawan ini, dia sering pergi panjat gunung, bahaya bang kalau sendiri”, kata mas-mas bertubuh pendek dan gempal sambil menunjuk salah seorang temannya.

Dia pun mengantarkan kami ke terminal. Katanya, masjid disini pasti dikunci dan hanya buka pada waktu sholat saja. Rawan pencurian. Dia pun tak berkeberatan menemani ngobrol dan berjanji mencarikan angkutan nanti pagi. Diajaknya kami ke sebuah warnet, lalu ditunjukkan foto-foto koleksi pendakiannya di kerinci, sambil menjelaskan jalur jalur yang akan kami lewati dan titik titik bahaya yang harus kami perhatikan. Ternyata si Tony ini orang yang sangat baik. Awalnya kami berfikir jangan-jangan orang ini preman desa yang ujung-ujungnya “malak” minta duit ke kita. Hehe, bukan suudzon, hanya saja perlu tetap waspada karena kita berada di negeri orang, ditempat antah berantah, di pagi hari yang buta. Dan nantinya kami akan merasa sangat beruntung bisa bertemu dengan orang ini sebelumnya.

***

CH. 6 – THE BEGINING STORY

Matahari mulai merekah. Jingga di ufuk cakrawala menandai geliat kota yang beberapa saat sebelumnya menyerupai kota mati. Selepas sholat subuh, kami berlima berngingsut menuju terminal tempat pangkalan angkot-angkot menanti penumpangnya. Di sebuah warung di sudut terminal kami menyempatkan sarapan, agar sesampainya di kersik tuo kita bisa langsung melakukan pendakian. Ketupat lontong dan bubur sungsum hangat kami santap dengan cepat. Lalu memindahkan barang ke sebuah angkot putih yang standby tak jauh dari situ. Harga telah disepakati, Rp 15.000 per orang dan perjanjiannya akan diantar sampai di pintu rimba (batas hutan). Normalnya, angkot ini hanya melintas di depan tugu simpang macan. Kebanyakan pendaki turun dan menginap di “homestay Paiman”, beberapa meter sebelum simpang macan. Namun kami memilih langsung menuju pos pendakian, karena berdasarkan beberapa catatan perjalanan, jika berangkat dari pos pendakian jam 08.00 kemungkinan sampai di camp terakhir sudah menjelang larut malam. Oleh karena itu kami mencoba untuk berangkat sepagi mungkin.

Dua jam berjalan angkot tersebut mulai memasuki daerah kersik tuo. Langit pagi yang cerah membuat semangat kami membuncah. Perkebunan teh yang menghampar hijau, gundukan gundukan bukit permai membuat hati kami berseru, “Ya Allah, sebentar lagi kami akan menginjakkan kaki di kerinci. Ridhoi perjalanan kami, berkahi misi yang kami emban ini, dan lindungilah setiap langkah kami. Aminn..”.

Di sebelah kiri nampak sendirian berdiri gunung yang akan kami daki, dengan pucuk yang berselimut awan, membuat hati kecil saya sedikit bertanya. Benarkah ini gunung kerinci? Hmmm.. sepintas terlihat bukan seperti gunung yang tinggi. Tidak seperti ketika melihat gunung merbabu atau gunung sumbing yang begitu megah dan gagah. Astaghfirullah.. sedikit jumawa kita sepertinya. “Dont judge anything from the cover” kawan… Luruskan niat, bersihkan hati, persiapkan mental dan diri sebaik mungkin, pendakian ini bukan pendakian main-main, kita benar-benar buta terhadap apa yang akan kita hadapi, kita orang asing yang bertamu ke negeri antah berantah, jaga sopan santun dan etika, dan jaga mental dan kepribadianmu sebagai seorang mapala. (bicara saya dalam hati). Lamunan saya buyar ketika angkot menepi. Agak kedalam kesana terdapat sebuah bangunan kayu yang tertata rapi. Benar dugaan saya, ini adalah pondok R-10, pos jaga dan perijinan TNKS wilayah kerinci. “Tutup”. Sopir angkot bilang posnya memang jarang buka.

Rupanya kami hanya diantar sampai sini, kalau keatas lagi (batas hutan) sopirnya minta nambah limaribuan per orang. Ah kampret, perjanjiannya kan tadi bakal diantar sampai pintu rimba. Hampir saja saya memaki dan ngotot untuk diantar sesuai penjanjian, tapi ditahan oleh bowaz dan gembez. Oleh mereka saya diingatkan untuk menjaga sikap dan omongan, karena memang begitu banyak pesan dari orang-orang. Akhirnya kami mengalah untuk membayar biaya tambahan dan diantar sampai ke batas hutan.

Oke, sekarang kita sudah sampai di ujung jalan aspal dan bebatuan. Angkot menepi dan berhenti. Didepan kami ada sebuah pertigaan, dan tepat di pertigaan itu terdapat sebuah rangka besi yang masih kokoh berdiri. Nampaknya bekas baliho berukuran besar yang dulunya mungkin papan selamat datang di kawasan konservasi. Jalan selanjutnya berupa jalan tanah, jalan setapak yang sedikit lebar, cukup untuk dilewati sepeda motor. Namun  kendaraan roda empat tak bisa lagi melewati daerah itu. Ke arah kanan adalah jalan menuju ladang-ladang penduduk, dan lurus keatas kita akan mulai memasuki kawasan pintu rimba.

Sampai disini kami baru menyadari, kami lupa belum bawa persediaan air. AIR..!! MATEK KOEN..!!. Jangankan air, botol aqua saja kami hanya ada dua, sisa perjalanan di bus tempo hari. Ah gimana sih kok sampe kelupaan di kersik tuo tadi nggak beli. Di dekat situ memang ada danau belibis, tapi kata penduduk sekitar airnya tak bagus untuk dikonsumsi, ditambah lagi kami tak ada botol-botol bekas yang bisa diisi. Yasudahlah, mungkin sebaiknya salah satu turun lagi. Akhirnya si mantanlah yang turun ke bawah untuk membeli segala kebutuhan yang masih kurang, membonceng motor penduduk yang pulang dari ladang. Sedangkan yang lainnya, menunggu di pintu rimba.

Masalah tak terhenti di situ saja, di depan pintu rimba ini, kami baru “ngeh” kalo kita ini nggak lapor. Ya bagaimana mau lapor, lhawong pos jaganya saja nggak buka. Trus gimana?.

Bowaz, sang ketua perjalanan, bersikeras untuk tidak naik jika kita tidak melapor dan mendapatkan ijin. Dan dengan konyolnya ia melontarkan ide untuk pergi ke danau gunung tujuh saja lebih dahulu baru esoknya mendaki kerinci. Ah muatamu..!! kita sudah di pintu hutan kerinci dan kau bilang kita nggak jadi mendaki? Bercanda kau boi…
Memang benar itu prosedur safetinya. Tapi bukankah pos jaga memang jarang buka? Bagaimana kalau besok juga tetap tidak buka. Kepada siapa kita harus melapor? Bahkan sebenarnya kami sendiri tidak tahu apakah gunung ini sudah dibuka semenjak dinyatakan ditutup pada awal tahun lalu. Kami hanya mendapat informasi dari teman mapala di jambi katanya kerinci sudah bisa didaki. Lalu gembez pun menengahi, mungkin sebaiknya salah satu turun ke simpang macan, coba tanya ke homestay Paiman, minta saran sebaiknya bagaimana. Oke, bowaz sendiri yang turun menyusul mantan mencoba mencari tahu soal perijinan. Sepengetahuan saya, perijinan di TNKS memang tidak serumit mengurus simaksi di TNGP yang cenderung dikomersilkan. Dan kata Toni pun, kalau pos jaga tidak buka, langsung naik juga tidak apa-apa. Tapi sekali lagi, sebagai tim yang resmi membawa bendera mapala, sudah seharusnya mengikuti seluruh prosedur keselamatan yang ada. Disini, didepan pintu rimba, tinggal saya dan gembez yang tersisa. Menunggu kabar dari bowas soal perijinan dan si mantan yang mencari air dan bahan makanan.

***

CH. 7 – MENYIBAK BELANTARA SUMATERA (belum terbit) 
Bersambung…..  

 

 
4 Comments

Posted by on January 5, 2012 in Uncategorized

 

Referensi Pendakian: Gunung Merbabu (3.142 mdpl)

Referensi Pendakian: Gunung Merbabu (3.142 mdpl)

Gunung Merbabu merupakan gunung yang tergolong dalam gunung api tua yang terletak bersebelahan dengan Gunung Merapi yang merupakan salah satu gunung api aktif. Gunung Merbabu mempunyai banyak puncak-puncak bayangan (bukan puncak asli). Karena banyaknya puncak ini seringkali para pendaki mengeluh dan jenuh tapi justru hal ini yang menjadikan gunung ini menantang untuk didaki. Puncak gunung Merbabu terdiri atas dua puncak yaitu Puncak Sarif (3.120 mdpl) dan Puncak Kenteng Songo (3.142 mdpl). Kedua puncak ini mempunyai panorama alam yang berbeda.

Untuk menuju ke puncak Gunung Merbabu ada 2 jalur utama : lewat Selo / Boyolali dan lewat Tekelan / Kopeng. Kedua jalur ini mempunyai medan perjalanan yang berbeda. Kalau kita lewat Selo jaraknya lebih jauh tapi mempunyai panorama yang indah. Pohon-pohon pinus di sepanjang jalan terasa menciptakan kenyamanan selama perjalanan dan bisa memandang lereng Gunung Merapi lebih dekat. Perjalanan lewat Tekelan / Kopeng jalurnya lebih landai tetapi  (baca selengkapnya..)

 
Leave a comment

Posted by on January 4, 2012 in Referensi Pendakian, Wisata

 

Tags: , , , , , , , , , , ,

Referensi Pendakian: Gunung Sumbing (3.371 mdpl)

Referensi Pendakian: Gunung Sumbing (3.371 mdpl)

Gunung Sumbing merupakan gunung bertipe strato (kerucut), dengan ketinggian 3.371 mdpl. Gunung ini terletak dikawasan kabupaten Wonosobo, tepatnya didaerah Temanggung, Jawa Tengah. Kondisi puncaknya terdiri atas batu cadas yang menjulang tinggi dan disekitarnya banyak dijimpai kawah-kawah kecil yang mengeluarkan asap belerang. Puncak Gunung Sumbing terdiri atas 2 puncak, Puncak Buntu, dengan ketinggiaan 3.3672 mdpl, dan Puncak Kawah, dengan ketinggian 3.372 mdpl.

Lereng Gunung Sumbing merupakan salah satu kawasan yang rawan longsor karena terlalu luas dieksploitasi lahannya untuk ladang tembakau dan sayur-sayuran. Menurut ahli konservasi dari UGM, lereng gunung Sumbing mempunyai tingkat erosi yang paling tinggi diantara gunung-gunung yang ada di sekitarnya sehingga bila mata memandang akan terlihat hampir separuh lereng gunung sudah merupakan daerah perladangan.

Untuk mencapai puncak Gunung Sumbing terdapat satu jalur utama yaitu  (baca selengkapnya)

 
Leave a comment

Posted by on January 4, 2012 in Referensi Pendakian, Wisata

 

Tags: , , ,

Referensi Pendakian: Gunung Sindoro (3.136 mdpl)

Referensi Pendakian: Gunung Sindoro (3.136 mdpl)   

Gunung Sindoro merupakan gunung berapi yang berbentuk kerucut dan bertipe Strato ini terletak di batas Kabupaten Temanggung di sebelah barat dan di sebelah timur kota Wonosobo. Gunung Sindoro merupakan gunung yang mempunyai keindahan yang menarik karena di lereng gunung terdapat kebun-kebun teh. Hamparan perkebunan teh yang mengelilingi menjadikan Gunung Sindoro nampak hijau sepanjang tahun. Bila kita berada di puncak gunung Sindoro (3.136 mdpl), kita bisa lihat pemandangan disekitarnya lebih indah karena kondisi puncak yang terbuka dan sunrise pada pagi hari nampak jelas. Dataran Tinggi Dieng akan terlihat dari kejauhan dan lereng gunung Sumbing nampak jelas konturnya.

Letak gunung Sindoro berdekatan dengan gunung Sumbing, hanya dipisahkan oleh pelana Kledung (1.405 mdpl) yang melintasi jalan raya yang menghubungkan kota Wonosobo dan kota Magelang. (baca selengkapnya)

 
Leave a comment

Posted by on January 4, 2012 in Referensi Pendakian, Wisata

 

Tags: , , , , ,

Referensi Pendakian: GUNUNG SLAMET (3.432 mdpl)

Referensi Pendakian: GUNUNG SLAMET (3.432 mdpl)

Gunung Slamet adalah gunung tertinggi di Jawa setelah Gunung Semeru di jawa Timur, berbentuk kerucut/strato serta memiliki kawah yang masih aktif dan luas. Letusan besar terakhir terjadi tanggal 13 Juli 1988, yang menimbulkan lidah api dan semburan lava setinggi 300 meter.

Pada awal bulan September 1995, hutan di Gunung Slamet ini mengalami kebakaran hebat, diperkirakan karena kesalahan manusia, yang mengakibatkan lenyapnya berbagai tumbuhan dan fauna khas yang masih tersisa di gunung ini, termasuk tanaman langka Edelweis Jawa yang merupakan tanaman khas Gunung Slamet. Edelweis Jawa di sini, bunganya putih kekuningan dan tangkai bunganya serupa dengan daun kering yang panjang, berbeda dengan Edelweis di Gunung Gede-Pangrango yang bunganya (baca selengkapnya)

 
Leave a comment

Posted by on January 4, 2012 in Referensi Pendakian, Wisata

 

Tags: , , , ,

Referensi Pendakian: GUNUNG CIREMAI (3.078 mdpl)

Referensi Pendakian: GUNUNG CIREMAI (3.078 mdpl)

Gunung Ciremai merupakan gunung berapi yang masih aktif dan bertipe Strato. Memiliki dua kawah utama, Kawah Barat dan Kawah Timur, serta kawah letusan kecil Gua Walet. Gunung ini memiliki keistimewaan tersendiri bila dibandingkan dengan gunung-gunung lainnya di pulau Jawa, seperti juga Gunung Slamet, gunung ini juga terpisah dari gunung-gunung tinggi lainnya, tetapi gunung Ciremai ini lebih dekat dengan Laut Jawa. Kegiatannya yang terakhir tercatat pada tahun 1973, berupa gempa tektonik yang cukup kuat.

Gunung Ciremai merupakan gunung tertinggi di Jawa Barat, dapat didaki dari arah timur melalui Linggarjati (580 mdpl), dari arah selatan melalui Palutungan (1.227 mdpl), dan dari arah barat melalui Maja (lewat Apui dan lewat Argalingga). Jalur Linggarjati dan Palutungan adalah jalur yang paling banyak dilalui, dan merupakan jalur yang dianjurkan oleh (baca selengkapnya)

 
Leave a comment

Posted by on January 4, 2012 in Referensi Pendakian, Wisata

 

Tags: , , , ,

Referensi Pendakian: GUNUNG GEDE-PANGRANGO (2.958 mdpl & 3.019 mdpl)

Referensi Pendakian: GUNUNG GEDE-PANGRANGO (2.958 mdpl & 3.019 mdpl)

Gunung Gede dan Gunung Pangrango terletak di Jawa Barat, dan dalam pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (TNGP), yang didirikan tanggal 6 Maret 1980, meliputi areal seluas 15.196 Ha. Puncak-puncaknya terlihat dari Cibodas, Cianjur, dan Sukabumi. Gunung Pangrango berbentuk segitiga runcing dan merupakan gunung api yang sudah mati, sedangkan Gunung Gede, yang merupakan gunung berjenis Stato, berbentuk kubah dan merupakan gunung api yang masih aktif.

Berwisata ke Taman Nasional Gede-Pangrango ini merupakan wisata alam yang sangat menyenangkan. Selain wisata pendakian, kita bisa menjumpai banyak air terjun, hutan alam, kawah berapi, padang bunga Edelweis Jawa, Taman Bunga Cibodas, Sumber air panas, dan juga wisata pengamatan burung. Kawasan TNGP dijumpai tak kurang 300 lebih jenis burung, mendekati 2/3 dari jenis burung yang ada di Jawa.

Gunung Gede-Pangrango termasuk gunung-gunung yang sering didaki, karena transportasinya yang mudah serta dekat dengan Jakarta dan Bandung. Gunung Gede-Pangrango dapat dicapai dari Cibodas, Gunung Putri (Sukatani-Cipanas), serta dari (baca selengkapnya)

 
Leave a comment

Posted by on January 4, 2012 in Referensi Pendakian, Wisata

 

Tags: , , , ,